Saat saya duduk di keheningan Anand Krishna Center di Bali bersama bapak Anand Krishna sendiri adalah saat saya duduk bersama dengan salah satu pemimpin spiritual paling terkenal di Indonesia.
Diskusi dengan Anand Krishna malam sebelumnya sangat inspiratif sehingga Jakarta Post memutuskan untuk bertemu beliau dan berdiskusi lebih lanjut tentang kasih, agama, dan perdamaian.
Walaupun aksen India-nya cukup jelas, namun sesungguhnya beliau lahir di Surakarta, Jawa Tengah.
JP: Anda mengatakan dalam ceramah anda semalam bahwa Kasih, Cinta, adalah satu-satunya solusi. Mengapa demikian?
Anand Krishna: Saya katakan bahwa cinta adalah emosi terdalam di diri seorang manusia. Jika solusinya berasal dari yang terdalam, maka hasilnya pun menjadi jangka panjang.
Seperti sebuah pohon. Jika akar pohon itu tumbuh menunjang ke dalam bumi, maka kita akan memiliki pohon yang besar. Sama seperti itu; kita harus memiliki solusi yang berasal dari dalam diri, sehingga kita dapat mengharapkan hasil yang jangka panjang.
Metafora tersebut indah sekali. Bapak juga mengatakan bahwa saat kita mempraktekkan kesadaran, itulah yang disebut cinta. Apakah Anda memiliki saran bagaimana supaya kita dapat menjadi lebih sadar dalam hidup kita?
Di Bali terutama, kita memiliki tradisi indah yang mempersembahkan diri kita kepada lingkungan, manusia yang lain, dan Tuhan.
Menurut saya, Cinta adalah kata generik untuk Tuhan. Jika kita menyadarinya, maka kita berada dalam kondisi sadar. Kita sadar akan lingkungan kita dan apapun yang kita lakukan.
Cara kita duduk. Cara kita berperilaku. Cara kita bercakap-cakap dan berinteraksi dengan masyarakat. Kesadaran tidaklah dicapai dari satu jam meditasi sehari. Kesadaran adalah pekerjaan full-time, penuh-waktu.
Kesadaran adalah bagaimana kita menerapkan meditasi dalam kehidupan sehari-hari – dari waktu ke waktu. Kesadaran juga berarti pentingnya merelakan satu anggota badan untuk menyelamatkan seluruh badan kita.
Jadi, sebagaimana Anda katakan, merelakan sebagian anggota tubuh kita adalah sebuah bentuk pengorbanan. Apakah ini berarti anda merasa bahwa pengorbanan itu perlu?
Saya pikir begitu. Setiap menit, setiap saat dalam hidup, kita selalu berkorban. Kita mengorbankan hal-hal yang kita pikir tidak memiliki nilai lebih. Jika kita memiliki visi yang lebih baik, maka kita akan otomatis melepaskan visi yang lebih kecil, yang tidak lagi ada urusannya dengan kita. Jadi sesungguhnya tiap saat kita melakukan pengorbanan.
Cukup menarik mendengarkan pendapat Anda tentang Gandhi. Semalam Anda katakan bahwa Anda tidak setuju dengan metode berpuasa Gandhi karena itu sebenarnya menyakiti dirinya sendiri. Padahal cinta itu bukan soal menyakiti diri sendiri. Jadi menurut Anda, adakah cara yang lebih baik untuk mencapai perdamaian?
Tingkatkan kesadaran. Inilah yang menyebabkan saya akhir-akhir ini mengagumi Martin Luther King. Walaupun dia mengagumi Gandhi, Martin Luther King tidak menggunakan metode-metode Gandhi. Luther King akan turun ke jalan dan menyampaikan pendapatnya secara jelas. Dia akan membiarkan dirinya dipenjarakan. Namun dia tidak akan melawan balik atau membalas dendam.
Itulah cara yang menurut saya baik. Kita menyampaikan pendapat kita dengan jelas, berfokus pada kesadaran, dan kita membuat masyarakat mengerti mengapa kita melakukan hal-hal tersebut. Inilah yang saya coba lakukan… berusaha menggabungkan dua Manusia Besar tersebut – Gandhi dan Martin Luther King.
Inilah yang diperlukan oleh Indonesia dalam misi untuk menumbuhkan kesadaran bahwa kita adalah sebuah bangsa yang besar. Dahulu kala kita mengekspor rempah-rempah ke Madagaskar dan Afrika, dengan menggunakan armada kapal sendiri.
Menghilang ke manakah keagungan tersebut? Keagungan tersebut masihlah ada di dalam diri kita. Mengapa kita harus mengadopsi suatu hal yang tidak sesuai dengan negara ini?
Saat ini saya lihat sebagian orang Indonesia mengadopsi nilai-nilai Barat, yang sebenarnya cukup baik juga. Saya tidak ada masalah dengan hal tersebut. Namun, mungkin tidak semua budaya Barat sesuai dengan negara ini.
Di lain pihak, sebagian dari masyarakat Indonesia mengadaptasi cara hidup Arab. Hal ini akan menciptakan dua masyarakat dalam satu negara, yang tidak baik karena akan mengundang konflik, pertengkaran, dan perang di negara kita.
Pandangan Anda tentang agama sangatlah menarik. Seperti yang Anda katakan, kita memiliki begitu banyak agama. Buddha, Kristen, Hindu, Islam, dan sebagainya. Namun Anda merasa bahwa kita dapat bersatu bersama, karena walaupun cara mengagungkan Tuhan berbeda, tetaplah ada satu Tuhan dan satu Kebenaran yang kita berusaha raih dan sadari.
Bagaimana cara mengatasi prasangka-prasangka tentang agama dan menjadi lebih terbuka dan tidak berpikiran sempit tentang konsep ketuhanan?
Makanya saya lebih senang menggunakan kata ‘cinta’, karena jika kita bicara tentang cinta, kita memang bicara cinta. Kita bahkan bisa menerima ide-ide dari orang yang tidak percaya Tuhan.
Ada seorang Sufi yang bertemu seseorang lain. Orang ini berkata, “Saya tidak percaya Tuhan.” Sang Sufi bertanya, “Apakah anda percaya pada diri sendiri?” Orang tersebut menjawab, “Ya, tentu saja.”
Selama kita percaya akan sesuatu – apapun itu, bisa Tuhan, bisa cinta, bisa diri sendiri… Dalam tradisi India, Tuhan adalah perwujudan diri kita yang lebih tinggi. Kesadaran tentang cinta inilah yang harus kita wujudkan.
Mungkin banyak orang yang berpikiran, “Saya tidak ada urusan dengan Tuhan.” Tapi pasti kita semua ada urusannya dengan cinta.
Jadi, walaupun berabad-abad kita sudah berusaha melakukan dialog antar-agama, khususnya antara umat Kristen dan Islam sejak 2,000 tahun yang lalu, kita tetap jalan di tempat karena kita bicara tentang Tuhan – yang tidak pernah muncul di hadapan kita.
Ketika seorang Kristen mencintai seorang Muslim, atau saat seorang Buddha mencintai seorang Hindu, atau seorang Hindu mencintai seorang Muslim, dan saat mereka sungguh-sungguh saling mencintai – hanya dua insan yang saling mencintai – maka mereka melupakan seluruh rintangan yang ada.
Daripada bicara tentang Tuhan – yang menurut saya tidak tepat – marilah kita bicara tentang cinta.
Begitu kita bicara cinta, begitu kita mengembangkan rasa kesatuan dengan seluruh umat manusia, maka saat itulah Tuhan berwujud. Saat itulah semua masalah menghilang.
Terjemahan oleh Icha
Michele Lee, American Journalist Interviews Anand Krishna for Jakarta Post
http://www.thejakartapost.com/yesterdaydetail.asp?fileid=20060829.W01
The Jakarta Post, 29 August 2006