Sekali lagi, seluruh dunia terkejutkan oleh sebuah kasus pembunuhan yang barangkali tak akan terungkap sepenuhnya, persis seperti kasus-kasus lain serupa.
Benazir Bhutto sudah tiada.
Siapapun yang telah membunuhnya, siapapun yang berada di balik konspirasi pembunuhannya – yang jelas Pakistan telah kehilangan seorang politisi berkaliber dunia. Kehilangan ini sulit terpenuhi, mengingat mendiang adalah seorang perempuan di tengah kerumunan para fundamentalis yang masih sulit menerima kepemimpinan seorang perempuan.
Banyak yang berspekulasi bila Presiden Musharraf berada di balik konspirasi, setidaknya mengetahui tentang rencana pembunuhan. Saya tidak yakin. Saya pikir Presiden Musharraf tidak senaif itu. Barangkali ia bukanlah seorang pemimpin yang ideal. Barangkali ia tidak memenuhi harapan dan kerinduan rakyat Pakistan akan seorang pemimpin yang demokrat, bersih, nan kuat. Tetapi, ia tetaplah seornag politisi yang unggul.
Memerintah negara yang sejak hari pertama kelahirannya selalu mengalami pasang-surut politik yang sangat drastis – tidaklah semudah yang kita pikirkan. Setidaknya dibawah kepemimpinan Musharraf, walau korupsi tetap merajalela, ekonomi rakyat menunjukkan peningkatan.
Pun kita mesti ingat bahwa Musharraf sendiri sudah berulang kali lolos dari upaya pembunuhan.
Siapa yang berada di balik pembunuhan Benazir?
Al Qaeda? Kelompok militan, radikal, ekstremis, teroris? Atau, barangkali ada kekuatan lain yang menggerakkan kelompok-kelompok itu. Barangkali, mereka yang membunuh Benazir pun tidak sadar bila mereka telah menjadi korban dari sebuah konspirasi yang lebih besar.
Menurut saya, Benazir bukanlah sasaran utama. Ia bukanlah tujuan akhir dari siapapun yang berada di balik pembunuhannya. Kurang lebih dua bulan yang lalu, dalam komentar saya untuk “The Jakarta Post” – saya berharap agar para pemimpin oposisi di Pakistan bergandengan tangan dengan Musharraf untuk terlebih dahulu membersihkan “sistem” mereka. Pemilu dan pertarungan politik semestinya menjadi agenda berikutnya.
Pun sebagaimana pernah saya tulis untuk kolom yang sama, Musharraf adalah seorang pemimpin Pakistan pertama yang berani mengaku bila pemerintah Pakistan bersama pemerintah Amerika Serikat dan Saudi telah membesarkan Taliban. Ia menyatakan hal itu secara gamblang dalam otobiografinya.
Dalam keadaan seperti itu, semestinya para politisi di Pakistan bersatu-padu dulu untuk memerangi virus-virus berbahaya yang sudah lama menggrogoti tubuh Pakistan. Sayang, itu tidak terjadi. Mereka malah langsung turun ke medan untuk bertarung.
Keadaan ini, jelas dimanfaatkan oleh kaum radikal, atau siapa pun yang berada di balik mereka, untuk memecah-belah Pakistan. Untuk menciptakan kekacauan. Benazir berasal dari propinsi Sindh, propinsi terbesar dan terutuh dalam tubuh Pakistan. Propinsi lain, Punjab, terbelah dalam dua bagian. Satu bagian berada di India, bagian yang lain di Pakistan. Begitu pula dengan propinsi di Utara, secara historis dan geografis mereka lebih dekat dengan Afghanistan. Bahkan, sampai hari ini pun Pemerintah Pakistan tidak berdaya di propinsi tersebut. Disana, kekuasaan berada di tangan para ketua adat.
Perlu diingat pula, bahwa propinsi Sindh yang menjadi pendukung utama Pendiri Pakistan, Ali Jinnah, sudah sejak lama merasa dizalimi oleh pemerintahan yang dikuasai oleh etnis Punjabi. Kematian Bhutto, jelas akan memperkeruh situasi di propinsi tersebut.
Pakistan sedang menghadapi masa tergelap dalam sejarahnya yang baru berusia 60-an tahun. Celakanya, kegelapan ini akan turut dirasakan oleh para tetangganya, oleh kita di Indonesia, bahkan oleh seluruh dunia.
Pakistan yang tidak stabil adalah tujuan jangka pendek siapapun yang berada di balik pembunuhan ini. Ya, itu baru tujuan jangka pendek. Tujuan jangka panjang yang barangkali juga tidak terlampau panjang, adalah penguasaan terhadap senjata nuklir yang dimiliki oleh Pakistan.
Kenapa bukan Nawaz Sharif atau pemimpin oposisi lain yang dibunuh? Karena, kurang menguntungkan. Banyak diantara mereka, termasuk Sharif berasal dari Punjab, dimana Musharraf masih cukup kuat. Bila Sharif atau orang lain yang terbunuh, kekacauan yang terjadi dapat dengan mudah diatasi. Sekarang, agak sulit. Sekarang, seluruh Sindh akan membara. Sementara itu, di luar Pakistan, banyak warga Sindhi dalam pengasingan yang mengharapkan kemerdekaan dari Pakistan.
Keadaan seperti ini sungguh menyedihkan dan mengerikan. Bila Pakistan mengalami disintegrasi, siapa yang akan menguasai senjata nuklirnya? Disintegrasi Pakistan adalah ancaman bagi seluruh dunia.
Indonesia sudah tidak boleh menutup mata sebelah terhadap kaum radikal di negeri kita sendiri, yang acapkali berkedok fundamentalis dan sekedar ekstremis. Banyak diantara mereka yang pernah memperoleh latihan di kamp-kamp militan di Pakistan.
Saatnya Presiden Yudhoyono menyatakan “Yudha” terhadap kelompok-kelompok radikal ini. Para radikal ini berada dimana-mana, dalam sistem pemerintahan, di dewan dan di majelis tertinggi. Mereka juga menggunakan berbagai macam kedok. Ada kalanya mereka bersikap keras, ada kalanya mereka berpura-pura menjadi lembut. Ada kalanya mereka menolak berjabat tangan dengan perempuan. Bahkan, penjaga di depan pintu mewanti-wanti tamu perempuan untuk tidak mengulurkan tangan. Ada kalanya mereka sendiri mengulurkan tangan.
Pemerintah kita saat ini, mesti diakui, sangat lemah dalam hal penegakan hukum, bahkan penegakan konstitusi. Maka, mudah kecolongan. Sekian banyak peraturan di sekian banyak daerah yang jelas bertentangan dengan Pancasila dan Preambul Undang-Undang Dasar 1945, pun berseberangan dengan asas kemanusiaan sebagaimana secara universal telah diadopsi oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa – adalah bukti nyata akan kelemahan pemerintah pusat.
Keadaan ini makin terpurukkan oleh perselingkuhan antara oposisi dengan kaum opurtunis yang sewaktu-waktu dapat berubah warna. Kaum oprtunis yang acapkali berkedok moderat ini sangat berbahaya. Mereka tidak berprinsip. Demi kekuasaan mereka dapat berbuat apa saja.
Bagi Wapres Kalla, inilah “Kala”-mu, inilah saatmu untuk sepenuhnya mendukung Presiden untuk bertindak setegas-tegasnya terhadap kaum radikal. Mereka tidak boleh seenaknya mengadu satu komponen masyarakat dengan komponen lain.
Berhentilah berpikir tentang Pemilu 2009….. Lewat Radar Bali jua, saya pernah mengajak bangsa ini untuk “Belajar dari Pakistan”….. Sekarang tiba saatnya untuk “Bertindak sesuai dengan Pelajaran” yang telah kita peroleh dari pembunuhan terhadap Benazir.
Benazir, aku bukanlah warga Pakistan, tetapi orangtuaku berasal dari kampung halamanmu jua…. Hari ini, dan selama berhari-hari, bertahun-tahun mendatang akan kutangisi kepergianmu…. Adalah satu hal yang sedikit menghibur hati, yaitu kata terakhir yang terucap olehmu – “Allah”….. Kau telah kembali kepada-Nya…… Titip Salam Adi – Kakakku…. dan, bila berkesempatan tolonglah menyampaikan pertanyaanku: “Sampai kapan, Ya Allah, Ya Rabb, Gusti, Widhi – sampai kapan………….????”
—