Lebih dari 2500 tahun yang lalu, pujangga besar asal Cina, Lao Tze mengingatkan kita bahwasanya seorang pemimpin yang bijak adalah ia yang dapat menyediakan lapangan kerja bagi rakyatnya. Ia juga menasehati rakyat jelata supaya tidak tergoda oleh rumput hijau di pekarangan rumah tetangga, dan meninggalkan rumah sendiri.
Tapi lain Lao Tze, lain gambaran pemimpin ideal yang diberikannya, lain pula kita, dan para pemimpin kita. Kiranya nasehat sang pujangga tidak berlaku bagi kita, atau memang sudah kadaluarsa.
Beberapa waktu yang lalu, pulang dari luar negeri, saya melihat spanduk raksasa persis di depan loket imigrasi, “Selamat Datang kepada Para Pahlawan Devisa”. Yang dimaksud adalah para tenaga kerja kita yang bekerja di luar negeri, baik pria maupun wanita.
Sungguh sangat menarik.
Para anak bangsa yang bekerja di luar negeri itu hanyalah menjadi berarti, karena devisa yang mereka bawa. Kepahlawanan mereka diukur dengan materi, dengan uang yang mereka bawa pulang.
Saudara-saudara kita, Tenaga Kerja Indonesia yang baru pulang dari luar dan sedang antre di depan loket imigrasi pun tidak keberatan. Barangkali mereka puas, gembira. Setidaknya, mereka dianggap pahlawan.
Maka, sebagai pahlawan, bila di luar sana mereka dianiaya, disiksa, dilukai oleh majikan mereka – ya wajar-wajar saja. Mereka kan pahlawan. Menjadi pahlawan itu tidak gampang, mesti membuktikan kepahlawanan diri. Bukankah demikian?
Ya? Apakah demikian?
Kepahlawanan semacam apakah ini?
Baru-baru ini salah satu koran nasional memberitakan bila tenaga kerja kita yang paling aman dan bahagia adalah yang bekerja di Singapura. Sebaliknya, yang paling menderita adalah mereka yang bekerja di Timur Tengah, terutama di Arab Saudi, Arab milik keluarga Saud.
Ah, bahagia atau tidak, aman atau tidak, kurang menderita atau lebih – barangkali, semuanya itu tidak penting. Yang penting adalah kepahlawanan. Dan, kepahlawanan menutut pengorbanan. Bukankah demikian?
Ya? Apakah demikian?
Kepahlawanan memang membutuhkan pengorbanan. Setuju. Tapi, apa betul tenaga kerja kita yang bekerja di luar itu adalah pahlawan?
Apa betul kepahlawanan dapat diukur dengan materi? Wah, kalau begitu, para koruptor boleh disebut pahlawan juga, dong? Walau korupsi, toh, mereka membayar pajak. Dan, pajak yang mereka bayar itu tidak sedikit lho. Jumlahnya cukup besar juga.
Asal duit. Menghasilkan duit, punya duit, bagi duit dengan negara, dan jangan lupa sedikit receh untuk “oknum-oknum” yang “membantu”. Namanya juga gotong-royong, demokrasi, demi rakyat, dari rakyat, untuk rakyat. Kita semua kan sama-sama rakyat. Apa salah, kalau kita mendapatkan “jatah” dari para pahlawan?
Barangkali karena urusan jatah pula, banyak calo taksi di bandara, bahkan preman, penjahat dan penipu berkedok supir – selalu menunggu kedatangan para pahlawan kita dari luar negeri. Biar dapat bagian, dapat jatah.
Apa salahnya?
Bukankah mereka sudah memperoleh gelar pahlawan devisa? Janganlah pemerintah saja yang diuntungkan, biar semua orang ikut untung lah!
Pahlawan devisa.
Bagi saya, ungkapan ini adalah sebuah penghinaan terhadap sesama anak bangsa yang banting tulang di luar negeri, jadi babu di rumah, jadi supir dijalanan, tukang sapu di perkantoran, kemudian dianiaya, diludahi, ditipu, dilukai, dibakar, bahkan diperkosa. Ini bukanlah pengorbanan. Ini adalah penderitaan yang dipaksakan terhadap mereka.
Di luar sana, Indonesia dikenal sebagai pemasok buruh kasar, babu dan tukang sapu, supir, tukang kebung dan satpam. Jarang-jarang ada perawat asal Indonesia. Jarang-jarang ada tenaga ahli. Ada, tapi berapa banyak?
Citra Indonesia seperti ini mesti dirubah.
Indonesia mesti menjadi pemasok tenaga ahli.
Saat ini, barangkali sudah ada upaya dari pemerintah maupun swasta untuk memberi pendidikan kilat kepada tenaga kerja yang hendak berangkat ke luar negeri. Namun, masih tidak cukup. Jangankan keahlian dalam bidang tertentu, misalnya keperawatan atau tenaga pengajar, banyak tenaga kerja kita yang berbahasa asing pun masih berepotan.
Beberapa waktu yang lalu, di bandara internasional Changi, Singapura: Saya mendengar seorang tenaga kerja kita yang sedang transit dan barangkali menunggu pesawat ke Dubai, berteriak memberi tahu kepada temannya: “Eh, tidak ada air di WC, ngak bisa cebok.”
Dia tidak tahu apa manfaat kertas tisu di toilet. Bila tenaga kerja seperti ini dikirim ke luar negeri, kemudian ia malah mengotori toilet di rumah majikannya, yang semestinya ia bersihkan – maka apa yang terjadi?
Inilah citra kita sebagai pahlawan devisa.
Inilah citra kita yang mengangkat mereka sebagai pahlawan.
Saatnya kita membenahi diri. Saatnya kita tidak mengukur segala sesuatu dengan tolok ukur materi. Saatnya kita mencucurkan keringat demi kemajuan negeri kita sendiri.
Indonesia masih membutuhkan tenaga buruh, pembantu rumah tangga, supir. Di Bali saja kita sudah kekurangan. Biarlah mereka bekerja di negeri sendiri.
Mari kita berbagi keahlian dengan negara-negara di luar sana, negara-negara yang tidak sekedar “bersahabat”, tapi sopan dan santun. Kita kirimkan ahli ukir, ahli gambar, ahli animasi, dan para ahli di bidang-bidang lain kesana. Supaya, mereka pun tahu bila kita pernah dan tetap bisa berkontribusi terhadap peradaban dunia.
Anand Krishna (Radar Bali, Rabu 5 Agustus 2009)
Link to : AKC Bali