Pertemuan saya dengan Yang Mulia Dalai Lama terjadi pada tahun 1996. Bersama seorang anggota DPR dan dua orang teman lainnya, kami cukup beruntung untuk mendapatkan audiensi dengan Beliau. Ketika saya berkata bahwa kita semua berasal dari Indonesia, Beliau segera bereaksi, “ Oh yes, yes, yes…Indonesia…Tibet mempunyai hubungan yang erat, dan ikatan yang kuat dengan Indonesia.”

“Atisha, adalah seorang petapa dari India. Dia berangkat ke Indonesia untuk belajar dari seorang Guru di Indonesia,” Beliau bercerita.

Sungguh beruntung bahwa saya sudah mengetahui cerita ini.

Sungguh, tidak banyak orang Indonesia ingat bahwa dulu bangsa ini penuh dengan harta karun kebijaksanaan. Kita tidak pernah mengimpor spiritualitas dari India; malah para pelajar dari India datang ke kepulauan kita untuk belajar dari guru-guru setempat kita.

Kemudian, Atisha berkunjung ke Tibet, di mana Beliau menyebarkan ajaran-ajaran dari gurunya.

Meditasi yang diajarkannya sampai sekarang masih digunakan sebagai latihan oleh orang-orang Tibet. Latihan itu disebut Tong-Len, yang secara literal berarti “ Meditasi Terima dan Kasih, Menerima dan Memberi”. Ternyata, ungkapan umum ‘terima kasih’ bukanlah sekedar ungkapan biasa.

Termuat sebuah filosofi mendalam di dalam ungkapan kata ‘terima kasih.’ Kata itu merefleksikan pandangan kita tentang kehidupan dan memproyeksikan kepercayaan mendalam kita yang telah berakar. Kita, orang Indonesia, percaya, atau paling tidak pernah percaya, pada adanya hukum bagi perasaan bersyukur atau berterima kasih. Kita tidak pernah memerlukan sebuah film seperti The Secret yang memberitahu kita untuk selalu bersyukur pada segala hal yang kita terima dari alam semesta.

Lebih dari 800 tahun yang lalu, para pelajar dari India berpergian ke Sumatera, yang waktu itu dikenal sebagai Svarna Dvipa, untuk belajar dari Dharmakirti Suvarnadvipi, Dharmakirti dari Svarna Dvipa. Dia menghabiskan 10 tahun waktunya untuk berguru. Dia mendokumentasikan setiap kata yang didengarnya dan setiap pelajaran yang dia pelajari.

Kita, orang Indonesia, malah tidak mempunyai catatan sejarah seperti ini.

Di kemudian hari, meditasi ini digunakan oleh ahli pengobatan dan dokter di Tibet. Mereka akan membayangkan rasa sakit para pasien mereka dan menariknya ke arah mereka sendiri. Ini adalah bagian pertama dari meditasi, terima – menerima. Kemudian, di bagian keduanya, mereka akan mengirimkan keluar energi yang telah berubah menjadi energi kasih – memberi.

Teknik (tong-len) ini segera menggantikan fungsi (obat pereda sakit) anestesi herbal. Perlu saya ingatkan kembali bahwa semua ini terjadi lebih dari 800 tahun yang lalu.

Keindahan dari teknik ini adalah, penerima rasa sakit dapat memproses rasa sakit dan mentransformasikannya menjadi keadaan yang baik. Semua negativitas dapat ditarik ke dalam diri kita, diproses dan diproyeksikan keluar sebagai energi positif.

Teknik ini sekarang sedang digunakan oleh banyak ahli saraf dari barat, sebagai bagian dari terapi stimulasi transcranial magnetic, untuk meredakan penderitaan dari beberapa pasien akibat serangan penyakit pada otak atau stroke.

“Tapi saya harus menekankan di sini bahwa kita belum mendapatkan jawaban atas apa yang sedang terjadi,” kata Max Bennett, professor di Universitas Sydney dan merupakan salah seorang ahli saraf terkemuka di dunia.

“Ini adalah sebuah fenomena. Tapi dalam satu hal, fenomena ini mengindikasikan bahwa ada banyak hal yang tidak kita ketahui dalam ilmu pengetahuan barat, “ dia berkata.

“Kita tahu bahwa sebelum tahun sekitar 2020, musuh utama bagi kesehatan umat manusia adalah depresi. Bukan kanker, bukan penyakit jantung, tapi depresi, “ dia melanjutkan.

Teknik tanpa obat ini berasal dari kepulauan Nusantara kita ini akhirnya dapat menggantikan peran obat pereda rasa sakit yang sekarang ini berbasis pada morfin yang mahal..

Ketika mendiskusikan tentang endudukan China pada Tibet, Dalai lama berkata, “Meditasi ini akan membebaskan saya dari kebencian. Saya melakukan (latihan) ini setiap hari untuk mengirimkan energi dan perasaan positif pada orang-orang China.”

Saya secara pribadi tidak dapat pernah melupakan kata-kata dari Dalai lama: “Kita bangsa Tibet selalu berterima kasih kepada negara Indonesia dan orang-orang Indonesia, untuk ajaran Tong Len yang indah ini.”

Siapapun yang pernah melihat dan mendengarkan kata-kata Beliau mungkin masih mengingat bagaimana Beliau berbicara. Beliau menggunakan sedikit kata-kata, kalimat-kalimat yang singkat dan tidak terbebani oleh kerumitan dari tata bahasa Inggris.

Saya bersaksi akan rasa terima kasih dari Dalai Lama untuk kita, orang-orang Indonesia dan negara kita, Indonesia. Saya telah menyaksikan rasa bersyukurnya, rasa terima kasihnya.

Maka sekarang, sebagai orang Indonesia, marilah kita mengingatkan diri kita sendiri akan apa artinya untuk diterima-kasihi. Tentu saja, kembali kasih (terima kasih kembali), dan ketika membaca arti di antara kata-kata yang tertulis, maka bisa berarti “Saya bersyukur dan berterima kasih pada setiap dari kalian semua.”

Tidak seperti kata Amerika “Welcome” dan kata Inggris “Never Mind,” orang Indonesia membalas “rasa terima kasih dengan cara berterima kasih.” Maka marilah kita sekarang menghadapi cermin dari kesadaran kita dan marilah kita mengecek wajah dari jiwa-jiwa kita. Sudahkah kita membalas rasa terima kasih Tibet dengan terima kasih (juga)?

Sudah hampir satu milenium orang-orang Tibet telah menjaga dan melestarikan halaman-halaman yang hilang dari sejarah kita. Mereka telah melestarikannya dengan rasa bersyukur dan berterima kasih. Apa yang telah kita lakukan bagi mereka sekarang? Bagaimana kita membalas rasa terima kasih kita kepada mereka?

Uni Eropa, Amerika Serikat, Perserikatan Bangsa-Bangsa dan negara-negara seperti Polandia, Jerman, India dan Taiwan semuanya telah mengomentari gejolak baru-baru ini di Tibet melawan pendudukan tidak sah atas tanah mereka oleh rezim komunis China.

Apa yang harus kita katakan sekarang? Mungkin kita merasa lebih nyaman untuk diam saja seperti yang selalu kita lakukan belakangan ini. Tapi, marilah kita ingatkan diri kita semua bahwa ini bukanlah tradisi kita, ini bukanlah kebudayaan kita.

Marilah kita ingatkan diri kita sendiri akan apa yang Soekarno, Bapak Bangsa kita, pernah katakan: “Kebebasan untuk menjadi bebas. Apa gunanya ‘bebas dari rasa takut’; apa gunanya ‘bebas untuk berekspresi, bebas untuk berkepercayaan, dan bebas dari kemiskinan, bebas dari rasa takut’—bila tidak ada ‘kebebasan untuk menjadi bebas?’”

Berulang kali, Sukarno akan mengulangi bahwa buah dari kemerdekaan Indonesia tidak hanya akan dinikmati oleh orang Indonesia sendiri dan bahwa Indonesia akan bekerja tanpa henti untuk kemerdekaan bagi semua orang dari semua bangsa-bangsa.

Tidak ada lagi ruang untuk mendiskusikan ketidaksahan pendudukan RRC atas Tibet. Semua siswa ilmu sejarah pasti akan mengutuk pendudukan ini. Kita, sebagai sebuah negara, harus segera bangkit melawan pendudukan seperti ini. Jika tidak, maka generasi-generasi mendatang mungkin akan menertawai kepengecutan kita, kebijakan luar negeri yang tidak jelas dan ketidakpedulian kita akan sejarah. Terlepas dari isu Tibet ini, saya takut sikap kita ini akan akhirnya merugikan diri kita sendiri.

Link-link yang berkaitan :
Antara Photo 1
Antara Photo 2
Lantas Metro Polri: Tujuh Lokasi Unjuk Rasa
Kompas Online: Solidaritas Tibet Demo Kedubes RRC