Perjumpaan pertama kita dengan kata kama kemungkinan besar melalui istilah Kamasutra, karya klasik dari timur, yang lebih sering dikaitkan dengan seks. Kama, sesungguhnya, tak hanya mengacu pada seks dalam arti senggama. Kama lebih tepat didefinisikan sebagai hawa nafsu, atau hasrat.
Sutra ialah benang, atau senar. Kata ini dipakai di sini dalam konteks pemain boneka yang memegang bonekanya dengan benang atau senar. Gerakan boneka-boneka itu dikendalikan dan diarahkan. Oleh sebab itu, pemain boneka disebut Sutradhaari, seperti juga Tuhan, Sang Pemain Boneka yang Hebat. Sekarang ini pun, pengarah acara dan film disebut sutradhaar dalam bahasa Sansekerta, atau sutradara dalam bahasa Indonesia.
Kamasutra mengimplikasikan bahwa hawa nafsu atau hasrat harus dikendalikan, ditata dan diatur secara memadai. Karena nafsu adalah energi, dan hasrat ialah energi.
Ada pepatah lama dalam bahasa Sansekerta, “Pemborosan Energi ialah Pemborosan Hidup.” Dikatakan juga bahwa, ” Energi ialah Kehidupan, dan Kehidupan ialah Energi.” Sekecil apa pun, kita semua memiliki energi itu di dalam diri kita, dengannya kita hidup dan “membuat” anak. Energi seksual inilah yang memastikan kelanjutan kehidupan.
Jadi hawa nafsu, hasrat dan seks semuanya saling terkait. Mereka semua ialah manifestasi energi. Inilah energi yang menciptakan. Dan, energi yang sama pula berada di balik kreatifitas kita di bidang lainnya, termasuk juga kemampuan untuk menganalisis.
Apa yang terjadi jika energi ini hanya digunakan untuk aktivitas seksual, misalnya senggama, masturbasi, dll? Tak tersisa lagi energi untuk mengekspresikan kreatifitas kita pada bidang lainnya. Kita bisa jadi tetap produktif, tapi tak lagi kreatif. Kita dapat tetap berpikir, tapi tak dapat berpikir mendalam, menganalisis dan memilah-milah.
Pun para filsuf yang sibuk berfilsafat tentang hidup kekurangan energi untuk sungguh-sungguh hidup, menikmati dan merayakannya.
Saya pernah bertemu dengan beberapa politisi yang begitu larut dalam politik sehingga tak tersisa energi untuk hal lainnya. Kasus ini terjadi juga dengan para profesional di bidang lainnya.
Inilah sebabnya kenapa para leluhur menasehati kita untuk mengatur kama secara efektif dan efisien. Tak ada larangan untuk memakai kama untuk aktivitas seksual. Jika kau ingin menjadi Caligula, maka gunakanlah seluruh energimu untuk itu. Tak masalah. Namun, bila kau ingin menjadi kreatif di bidang lain pula, maka moderasi dalam aktivitas seksual akan bermanfaat.
Sama halnya, jika kau ingin menjadi kaya raya, maka silakan mengarahkan seluruh energimu untuk mencari uang. Jangan pikirkan hal lainnya.
Hidup menawarkan pilihan yang tak berbatas. Hidup adalah pilihan. Seorang filsuf bisa berfilsafat tentang tak memilih. Tapi itupun sebuah pilihan. Tak memilih atau memilih, dua-duanya adalah pilihan.
Semestinya, kita berpikir mendalam sebelum membuat pilihan. Kita harus menganalisis semua pilihan yang kita miliki, sebelum menetapkan satu pilihan di antara mereka. Ini juga alasan kenapa para siswa di sekolah dinasehati untuk tidak terlibat dalam kegiatan seksual. Selama seorang siswa masih bersekolah, ia perlu memfokuskan energinya pada pelajaran dan sekian banyak aktivitas lainnya. Maka, fokus pada seks tidak berguna.
Apa yang telah saya sampaikan diatas, adalah pedoman. Selanjutnya terserah kita. Bagaimana kita menggunakan energi kita – bagaimana kita memakai kama – sepenuhnya menjadi keputusan kita. Kita ialah tuan atas diri kita sendiri.
Ada sebuah fenomena, yaitu ketika kama berbunga, ketika nafsu berubah menjadi kasih. Ini ialah sebuah fenomena universal. Kita semua dapat mengalaminya. Kita semua memiliki potensi untuk mendaki tingkatan yang lebih tinggi dari nafsu dan menggapai kasih.
Nafsu dan kasih, keduanya ialah manifestasi kama. Ketika kau terobsesi dengan kemakmuran diri, kemakmuran keluarga, komunitasmu, lembagamu, ini mu dan itu mu – maka kamu menjadi penuh nafsu. Nafsu selalu egois dan mementingkan diri sendiri. Ia tak tahu bahasa tanpa pamrih.
Kasih, di sisi lain, tahu bahasa tanpa pamrih. Ia dapat berkarya untuk keuntungan semua, untuk kemakmuran semua, untuk kebaikan semua, untuk kemajuan dan pertumbuhan semua. Kasih ialah ketika kita sungguh memahami semangat di balik kata-kata, “Satu untuk Semua, Semua untuk Satu.”
Di antara nafsu dan kasih ialah tangga cinta. Dalam nafsu, kamu ialah kamu, dan aku ialah aku. Nafsu itu individualistik. Cinta ialah persaudaraan, persahabatan dan kebersamaan. Cinta ialah persatuan kamu dan aku. Cinta ialah perjumpaan individualitas kita yang tadinya berjarak. Cinta ialah di mana kita bertemu. Cinta ialah di mana aku untuk kamu, dan kamu untuk aku.
Mari kita ringkas:
-Nafsu: Kamu ialah Kamu, dan Aku adalah Aku, Nafsu selalu menuntut, mengambil, dan menerima.
-Cinta: Kamu dan Aku. Ini saling memberi dan menerima.
-Kasih ialah Engkau segala-galanya. Ia memberi, memberi, dan memberi.
Pada tingkatan nafsu, kama telah melahirkan para Alexander yang haus kekuasaan, para Mahmud dari Ghazna, para Genghis Khan, para Napoleon dan para Hitler.
Pada level cinta, kita menjumpai para Mahatma Gandhi, para Martin Luther King dan para Mandela. Ini di mana kita peduli pada sesama.
Pada tingkatan kasih, kita bersua denga para Krishna, para Buddha, para Yesus, para Muhammad, dan makhluk spiritual lainnya. Iniah tahapan pelayanan tanpa pamrih.
Kama ialah purushartha ketiga, atau pilar terpenting nomor tiga dalam struktur kehidupan manusia. Kita sebelumnya telah membahas dua yang pertama, dharma dan artha, atau kebajikan dan kekayaan.
Di atas lapisan kesadaran yang lebih tinggi, kama merubah dirinya menjadi sankalpa, atau kekuatan niat. Lebih jauh tentang itu nanti.
Sementara waktu ini dulu, kita berjumpa lagi minggu depan untuk mengeksplorasi purusharta keempat sekaligus terakhir, moksa, kebebasan mutlak, pembebasan, keselamatan, atau apapun sebutan kita untuknya. Sampai jumpa.
Anand Krishna*
(Radar Bali, Rabu 28 Oktober 2009)
* Penulis adalah aktivis spiritual, dan telah menulis lebih dari 130 buku. Untuk mengetahui lebih lanjut tentang kegiatannya di Bali, silahkan menghubungi Aryana atau Debbie di 0361 7801595 atau 8477490, atau kunjungi www.aumkar.org, www.anandkrishna.org (Tulisan ini pertama kali dimuat di The Bali Times, diterjemahkan oleh Nugroho Angkasa).