Seperti Mbah Surip, seperti para seniman lainnya, seperti nantinya juga saya dan Anda, W.S. Rendra pun akhirnya mati. Namun, lain matinya Rendra dan Mbah Surip, dan barangkali lain pula mati kita.

Rendra, seperti juga Mbah Surip meninggalkan cerita, banyak cerita. Kita belum tentu meninggalkan apa-apa. Hidup kebanyakan orang tanpa cerita yang berarti. Sekolah, pacaran, bekerja, berkeluarga, banyak uang, sedikit uang, keluarga bahagia, keluarga kurang bahagia, cerai, paksa mempertahankan perkawinan, beranak-pinak. Dan, akhirnya mampus.

Banyak diantara kita yang lahir, hidup dan mati seperti itu. Cerita kita ibarat garis lurus, entah vertikal, entah horisontal. Tapi tidak banyak liku-liku. Banyak perkara, tapi semuanya biasa-biasa saja.

Tidak demikian dengan Rendra.
Rendra, seolah adalah makhluk lain.

Willibrordus Surendra Broto Rendra, lahir di Surakarta (Jawa Tengah) dalam keluarga Kristen pada tanggal 7 November 1935. Dan, meninggal di Depok (Jawa Barat) pada tanggal 6 Agustus 2009, dimakamkan dengan upacara Islam.

Diantara dua titik kelahiran dan kematian itu adalah Rendra, seorang manusia. Seorang manusia Indonesia.  Agenda kelahiran bukanlah di tangan kita. Keberadaan yang menentukan kita lahir dalam keluarga Kristen, Hindu, Buddhis, Islam, Kong Hu Cu, atau bahkan keluarga ateis.

Kematian pun tidak di tangan kita, kendati upacara perabuan atau penguburan bisa kita tentukan sebelumnya. Jasad mau dimakamkan dengan cara apa, pakai upacara agama mana, atau diperabukan dengan cara apa pula – kita masih bisa menentukan hal itu. Bisa membuat wasiat, dengan harapan keluarga kita akan patuh pada apa yang tercantum dalam wasiat itu.

Karena, sering pula terjadi orang mau dimakamkan, malah diperabukan oleh keluarganya, atau sebaliknya yang lebih sering terjadi. Mau diperabukan, malah dimakamkan.

Entah titik kelahiran itu penting atau tidak, entah titik kematian itu penting atau tidak. Atau, mana yang lebih penting. Entah. Namun, diantara kedua titik tersebut adalah kehidupan kita, hidup kita. Itu penting.

Rendra memahami betapa pentingnya “kehidupan”. Maka, ia menjalaninya sesuai dengan apa yang diinginkannya. Rendra adalah seorang seniman, kendati demikian seni bukanlah satu-satunya definisi kehidupan seorang Rendra.

Rendra juga adalah seorang pemikir, seorang filsuf, sekaligus seorang aktivis. Tahun 2005, menjelang ulang tahunnya yang ke-70, sang maestro berjujur kata kepada seorang wartawan dari media nasional: “Masalahnya, sekarang ini kegiatan-kegiatan seni dan budaya pun selalu dikaitkan dengan  uang, dengan aspek ekonomi.  Semuanya menjadi komersil.

“Lihat saja, halaman-halaman iklan dalam koran melebihi halaman-halaman tentang kegiatan seni dan budaya.

“Ini yang belum tuntas saya kerjakan – kritik saya terhadap pemerintah dan pola pembangunannya.”

Belum tuntas, atau kita saja yang budeg, sehingga suara Rendra tak terdengar? Khususnya tentang Bali, ia sudah pernah memberi peringatan lewat puisinya yang indah:

“Sebab percaya akan keampuhan  industri; dan yakin bisa memupuk modal nasional. Dari kesenian dan keindahan alam, maka Bali menjadi obyek pariwisata.”

Bahkan, oleh para pejabat dan pemimpin yang tidak menghargai budaya, urusan budaya pun dikaitkan dengan pariwisata. Dan, seorang menteri disuruh mengurusi keduanya secara bersamaan. Berarti, budaya itu hanyalah atraksi bagi para wisatawan. Tidak memiliki arti lain, makna lain.

Rendra menyindir kita, “Betapapun: tanpa basa-basi keyakinan seperti itu, Bali harus dibuka untuk pariwisata. Sebab: pesawat-pesawat terbang jet sudah dibikin, dan maskapai penerbangan harus berjalan. Harus ada orang-orang untuk diangkut. Harus diciptakan tempat tujuan untuk dijual.”
Betul sekali Mas Rendra. Apa yang terjadi di Bali saat ini sudah pernah dijelaskan oleh sang maestro: “Dan Bali, dengan segenap kesenian, kebudayaan, dan alamnya, harus bisa diringkaskan, untuk dibungkus dalam kertas kado, dan disuguhkan pada pelancong.”

Unsur seni, unsur kesakralan, semuanya mesti mengalah. Adalah Om Fulusudin yang mesti menentukan segala-galanya.

Kita tidak malu menjadi tontonan, asal ada uang: “Oh, look, honey – dear! Lihat orang-orang pribumi itu! Mereka memanjat pohon kelapa seperti kera. Fantastic! Kita harus memotretnya!”

Kita tidak peduli. Bodoh, asal dollarnya lancar, yennya tetap ada, dan euro mengalir. Para pelancong mengejek kita, tidak menjadi soal pula: “Awas! Jangan dijabat tangannya! senyum saja and say hello. You see, tangannya kotor. Siapa tahu ada telor cacing di situ. My God, alangkah murninya mereka. Ia tidak menutupi teteknya! Look, John, ini benar-benar tetek. Lihat yang ini! O, sempurna!”

Banyak penyair yang melontarkan kritikan tajam. Banyak seniman yang bicara ceplas-ceplos. Rendra bukanlah penyair atau seniman seperti itu. Ia melihat lebih jauh. Ia tahu persis apa yang sedang terjadi di Bali.

“Dan Bank Dunia selalu tertarik membantu negara miskin untuk membuat proyek raksasa. Artinya: yang 90 % dari bahannya harus diimpor. Dan kemajuan kita adalah kemajuan budak atau kemajuan penyalur dan pemakai.

“Maka di Bali hotel-hotel pribumi bangkrut digencet oleh packaged tour. Kebudayaan rakyat ternoda digencet standar dagang internasional. Tari-tarian bukan lagi satu mantra, tetapi hanya sekedar tontonan hiburan. Pahatan dan ukiran  bukan lagi ungkapan jiwa, tetapi hanya sekedar kerajinan tangan.

“Hidup dikuasai kehendak manusia, tanpa menyimak jalannya alam. Kekuasaan kemauan manusia, yang dilembagakan dengan kuat, tidak mengacuhkan naluri ginjal, hati, empedu, sungai, dan hutan. Di Bali: pantai, gunung, tempat tidur dan pura, telah dicemarkan.”

Ya, Mas Rendra. Kau benar, tugasmu memang belum selesai. Bukan karena kau tidak melakukannya dengan baik, tapi karena kita memang budeg, tuli. Bali, kau telah kehilangan seseorang yang sangat mencintaimu. Entah kapan lagi kau akan bertemu dengan seorang pencinta seperti Rendra……

Anand Krishna* (Radar Bali, Rabu 12 Agustus 2009)

Link to : AKC Bali