Pemakaman para teroris dihadiri oleh ratusan orang. Seorang ustad  mendoakan mereka supaya “mendapat pahala dan ampunan” dari Gusti Allah, karena “mereka tetap pejuang…..” dan telah  “memperjuangkan syariat …….”

Meskipun, sebelumnya ustad yang sama memang mengaku, bila ijtihad (=metode, upaya, cara) yang dilakukan para teroris, oops, syuhda itu berbeda dengan dirinya.

Ustad, dalam pengertian saya, adalah seorang Guru. Dan, seorang Guru semestinya menjadi positive role model. Perilakunya dicontohi oleh para murid. Ia menjadi panutan.

Apa yang terjadi bila seorang Guru menyatakan bahwa teroris adalah pejuang, mereka telah berjasa terhadap agama, mereka gugur sebagai martyr? Sinyalmen apa yang kiranya diterima oleh murid-murid lain?

Hukum tidak berdaya, karena membutuhkan bukti. Pemerintah tidak berdaya, karena adanya sekian banyak kepentingan politik. Namun, Anda dan saya tidak boleh menyerah. Kita mesti melindungi anak-anak kita dari para Guru yang telah melupakan tugas kewajiban mereka.

Sebagai role model, seorang Guru semestinya “berkembang” dan membantu “perkembangan diri” anak-didiknya. Untuk itu, adalah sangat penting bila seorang Guru memiliki kemampuan untuk:

1.    Menstimulasi Rasa Cinta. Karena, cinta adalah kekuatan batin yang dapat membantu pengembangan diri seorang anak secara utuh. Adakah sang ustad dalam bahasan kita ini berhasil menumbuh-kembangkan rasa cinta di dalam diri anak-didiknya? Kita tahu sendiri bila sejumlah teroris yang sudah mati, dalam tahanan, maupun yang masih berkeliaran bebas – pernah berhubungan dengannya.

2.    Menemukan Potensi Diri. Saya tidak percaya bila radikalisme, fanatisme, ekstremisme dan sebagainya adalah potensi diri manusia. Kekerasan di dalam diri manusia justru mesti diolah menjadi kelembutan lewat pendidikan.

3.    Menumbuhkembangkan Rasa Percaya Diri. Untuk apa? Yang jelas bukanlah untuk menjadi egois dan hanya mementingkan diri. Tidak menjadi arogan dan menganggap dirinya saja yang paling benar, atau agama yang dianutnya saja yang paling mulia.

4.   Merasakan Persatuan. Bukan dengan sesama manusia saja, tetapi dengan sesama makhluk, dengan alam semesta.

Diatas empat pilar kemampuan inilah seorang Guru membangun karakter diri, dan membantu pembentukan karakter anak didiknya.

Karakter macam apa yang telah dan tengah dibangun oleh sang guru dalam bahasan kita ini? Adakah ia patut menjadi role model atau panutan? Bila ia memang tidak setuju dengan perbuatan mereka, maka untuk apa mengagung-agungkan kematian mereka dan menyatakan mereka mati syahid?

Kadang saya mendengar para guru di sekolah mengeluh: “Para siswa berada di sekolah selama beberapa jam saja, selebihnya mereka di rumah dan bersama teman-teman mereka.”

Dengan alasan itu, mereka seolah bebas dari tanggung-jawab. Tidak, tidak bisa. Seorang guru ibarat tukang kebun “kesadaran” di dalam diri setiap anak didiknya. Seorang tukang kebun tidak perlu berada di kebun sepanjang hari. Cukup beberapa jam saja untuk mengawasi tanaman yang ada.

Lingkungan dan pergaulan memang bisa merusak kesadaran kita. Maka, adalah kewajiban seorang guru untuk mengarahkan anak didiknya supaya mereka dapat memilah mana yang baik, dan mana yang tidak baik bagi dirinya.

Saya sering memberi contoh seorang anak yang baru masuk sekolah. “Namamu siapa?” tanya guru yang menjadi wali kelas. Anak itu langsung menjawab, “Jangan John.”

Aneh, kenapa “Jangan” John?

Dengan polosnya, anak itu menjelaskan, “Soalnya, di rumah aku mau apa juga,  ibu selalu bilang, ‘jangan John, jangan John…”

Lantas, apakah melarang seorang anak untuk melakukan sesuatu yang tidak baik itu menjadi haram? Apakah kita mesti membiarkan anak didik kita menjadi penjahat dan pelaku aksi kekerasan?

Disinilah kepandaian, kemampuan, dan “kreatifitas” seorang Guru Sejati teruji. Ia mesti mampu menghindarkan anak didiknya dari segala perbuatan yang tidak baik, dengan cara menumbuhkan kesadaran mereka terhadap hal-hal yang baik.

Lewat contoh, cerita, permainan dan aktivitas lainnya, seorang guru dapat memberi kesadaran kepada anak didiknya, “Begini lho, kalau kamu bersifat seperti Duryodhana dan Durshashana. Dan, begini jadinya kalau kamu seperti Krishna dan Arjuna.”

Kita kembali pada pertanyaan kita, pada judul tulisan ini: Siapakah yang paling bertanggung jawab atas terjadinya aksi kejahatan, terorisme dan lain sebagainya? Kita yang menjadi guru, entah guru TK, SD, SMP, SMU, dosen, guru besar, atau guru spiritual, guru apa saja.

Kita, sebagai guru, bertanggung jawab penuh atas kejahatan yang dilakukan oleh Imam Samudera, Muchlas, Amrozi, Ibrohim, Eko, dan Noordin. Kita telah gagal sebagai guru.

Mari kita renungkan bersama, bagaimana merubah kegagalan kita selama ini menjadi keberhasilan? Hanya ada satu cara, yaitu dengan mengembangkan di dalam diri kita masing-masing, apa saja yang hendak kita kembangkan dalam diri anak-didik kita.

Bila kita menginginkan mereka jadi Soekarno, Hatta, Syahrir dan Pane – maka janganlah bersikap seperti guru di dalam bahasan kita ini.

Oleh Anand Krishna*
(Radar Bali, Rabu 26 Agustus 2009)

*Aktivis Spiritual, penulis hampir 130 buku, belasan diantaranya dalam bahasa Inggeris (www.aumkar.org, www.anandkrishna.org). Untuk mengetahui lebih banyak tentang kegiatannya di Bali, silakan menghubungi Aryana atau Debbie di 0361 7801595, 8477490