Ketika Ki Hajar Dewantara (1889-1959) menggagas pembangunan jiwa manusia lewat pengembangan daya cipta, karsa dan karya yang inheren – sudah ada di dalam diri setiap orang – istilah-istilah asing seperti Intellectual Quotient, Emotional Quotient dan lain sebagainya belum dikenal. Dewantara, Bapak Pendidikan Nasional “kita”, terinspirasi oleh kearifan lokal “kita” sendiri. Sayang, beribu-ribu kali sayang, bahwa “kita” pula yang kemudian meninggalkan kearifan tersebut, dan malah berkiblat pada kearifan impor yang belum tentu seratus persen cocok untuk kita.
Nilai Lokal – Nilai Impor
Tidak ada salahnya mengadopsi nilai-nilai luhur dari luar, dari Barat, dari Arab, dari Cina, dari India – dari mana saja. Sebagaimana tidak ada salahnya kita menghormati ayah atau ibu seorang sahabat. Tidak ada salahnya kita memanggil mereka “Bapak” atau “Ibu”. Namun, salah besar – dan itu yang terjadi saat ini – jika kita melupakan ayah dan ibu kandung kita sendiri, dan mengagung-agungkan orangtua sahabat “saja”.
Mari kita membaca ulang pemikiran Dewantara sebagaimana dikumpulkan dalam dua jilid antologi dengan judul “Pendidikan” dan “Kebudayaan”. Benang merah yang kita temukan dalam kedua antologi tersebut adalah nilai-luhur:
“Kebersamaan”
Bung Karno menerjemahkan nilai tersebut sebagai semangat “gotong-royong”. One for all, and all for one – satu untuk semua, dan semua untuk satu. Sesungguhnya sistem RT, RW, Kelurahan, Kecamatan, atau sistem Banjar di Bali – semuanya berlandaskan pada nilai luhur kebersamaan tersebut.
Dan, itu pula yang menjadi tujuan pendidikan – mengembangkan dan melestarikan nilai “kebersamaan”. Makan bubur bersama, dan makan nasi bersama. Ikut merasakan suka dan suka sesama anak bangsa, bahkan sesama manusia, sesama makhluk hidup.
Jadi, “Education is not preparation for life; education is life itself” (John Dewey, 1859-1952). Pendidikan bukanlah persiapan untuk hidup, tetapi hidup itu sendiri. Kehidupan itu sendiri…. Kiranya demikian maksud John Dewey, seorang pendidik reformis, filosof, dan psikolog asal Amerika Serikat yang hidup sezaman dengan Dewantara.
Pertanyaannya:
Apakah Tujuan Pendidikan itu Tercapai?
Jika pendidikan adalah hidup itu sendiri – maka semestinya ia menjadi lifelong process – proses seumur hidup. Dan, tidak berhenti pada tingkat S-1, S-2, S-3, atau bahkan S-7, atau entah S keberapa lagi.
Pun demikian dengan gagasan Dewantara tentang pemberdayaan cipta, karsa, dan karya, atau, mind, heart and body/physic – pikiran, perasaan, dan perbuatan. Proses pemberdayaan tersebut tidak bisa, dan tidak boleh berhenti. Ia mesti menjadi proses yang berjalan sepanjang hidup.
Lalu, apa arti ijazah yang kita peroleh dari sekolah, universitas, atau nilai hasil ujian nasional? Apakah semuanya itu menyemangati kita untuk “belajar terus” – atau justru mematikan, menghentikan proses pembelajaran?
Seorang tokoh spiritual asal India, Sathya Sai (1926-2011) mengingatkan supaya ijazah kita tidak menjadi “begging bowl” untuk “mengemis pekerjaan”. Tujuan pendidikan, menurut sang spiritualis, adalah karakter.
Dan,
Karakter itu Apa?
Kembali ke Bapak Pendidikan “kita” lagi – bukan sekedar pengembangan tetapi keharmonisan antara cipta, karsa, dan karya itulah karakter. Jadi, setiap unsur di dalam diri kita itu tidak berdiri sendiri-sendiri. Integrasi, kebersamaan – lagi-lagi itulah kata kunci.
Berarti, apa yang terpikir, itu pula yang terasa, dan ucapan serta tindakan kita pun sama. Inilah ciri seorang yang berkepribadian utuh. Istilah “individual” dalam bahasa Inggeris pun berasal dari kata “indivisible” – yang tidak dapat dibagi-bagi, tidak dapat dikotak-kotakan. Seorang yang berpikir lain, berperasaan lain, dan ucapan serta tindakannya pun tidak selaras dengan pikiran dan perasaannya bukanlah “individu” – belum cukup manusia.
Sekarang, marilah kita renungkan – apakah sistem pendidikan kita secara umum, dan ujian nasional secara khusus telah berhasil menciptakan individu – an integrated being yang tidak munafik, dan betul-betul utuh?
Adakah satu persen diantara penduduk negeri ini yang dapat mengangkat tangannya dan mengatakan dengan segala kerendahan hati dan tanpa menyombongkan diri, “Ya, aku berusaha untuk itu, dan selama ini berhasil.” Mari kita bertanya pada diri kita masing-masing. Apakah kita termasuk 1 persen itu?
Ya, 1 Persen sudah Cukup
Karena jumlah pemimpin yang dibutuhkan untuk menjalankan negeri ini, dan usaha-usaha besar “kita” tidak lebih dari itu.
Jangan mengharapkan orang lain untuk memikul tanggung-jawab itu. Marilah kita sendiri memikulnya. Ya, menjadi pemimpin bukanlah urusan status, hak, dan wewenang – tetapi urusan tanggungjawab.
Adakah diantara kita saat ini seorang pemimpin sekaliber Sukarno, Hatta, M.Natsir, Syahrir, Gus Dur – atau seorang pemikir seperti Dewantara, Sanoesi Pane, Sutan Takdir Alisyahbana? Jika tidak, maka kita mesti mencari tahu alasannya, “kenapa tidak?”
Adakah ini karena kegagalan sistem pendidikan kita, yang bahkan sudah ditunjang dengan ujian nasional, penyempurnaan kurikulum secara berkala, dan sebagainya?
Saatnya Kita Mengritisi Diri
Bukan untuk berkeluh kesah dan melempar tanggung jawab.
Tapi, untuk menganalisa alasan kegagalan kita “bersama” dan untuk mencari solusinya.
Pikiran saya, perasaan saya – kegagalan kita disebabkan oleh semangat “berlomba” – yang sudah sejak lama menggantikan semangat “kebersamaan”. Seorang yang berlomba untuk menjadi orang nomer satu – dan, itu pun berdasarkan angka, berdasarkan “penilaian orang lain” tentang dirinya yang belum tentu selalu benar – mesti mengalahkan sekian banyak orang.
Ya, penilaian orang lain tentang diri kita belum tentu benar. Karena, penilaian itu bisa dipengaruhi oleh apa saja. Dan, lebih sering oleh “status” kita sendiri. Kalau sudha berstatus tinggi, sudah memiliki jabatan – siapa yang berani mengritisi kita? Eh, kalau berani-berani, kubabat habis kau! Ya, bagaimana?
Lain kali kita mengupas lebih lanjut…
Untuk kali ini, kiranya itulah alasan utama kegagalan kita – semangat kebersamaan yang sirna dan diganti oleh semangat untuk berlomba – untuk menang sendiri. Bukan untuk kejayaan bersama.
Kiranya ini pula yang menjadi tantangan bagi kita semua – bagaimana mengembalikan semangat kebersamaan, gotong-royong, one for all and all for one?
Berita baiknya – bukan pekerjaan berat. Asal ada kemauan, ada kehendak yang kuat. Karena, dulu kita sudah memilikinya. Semangat itu sudah ada di dalam DNA kita, tinggal diungkapkan, dikembangkan kembali. We can do it!
Terbit di Koran Radar Jogja, 23 May 2011