Ada orang berpikir dan merasa biasa saja dengan nama pemberian orang tua mereka, tapi ada pula orang lain yang melihat nama mereka dengan penghargaan tinggi. Untuk “apa arti sebuah nama”, yang lain akan menanggapi, “inilah namaku yang begitu berarti”
Ada orang menamai anaknya dengan nama yang trendy. Begitu banyak nama Toms, Dicks dan Harry di sekitar kita. Pada saat yang sama, ada orang tua yang merenung dalam-dalam sebelum menamai anak-anak mereka.

Saya yakin bahwa orang tua kita – seperti orang tua para pemimpin kita – tak menamai kita “hanya seperti itu”. Siapapun yang memberi nama Soekarno kepada salah satu bapa bangsa kita tersebut niscaya pernah berharap “ia akan memiliki sepasang telinga yang baik” artinya ia akan lebih banyak mendengar ketimbang bicara.

Mari kita simak nama Presiden RI, Susilo Bambang Yudhoyono. Yudhoyono berasal dari kata “yudha” atau “perang”. Yakni kesiapan, kesiagaan untuk berperang. Dalam konteks zaman modern, itu berarti “kesiapan dan kesiagaan untuk menghadapi tantangan dalam kehidupan dan amanah jabatan”. Tapi, itu bukan sekedar kesiapan. Maknanya bisa lebih dari itu. Kata “Susilo” menunjukkan “ketepatan”. “Bambang” begitu terkenal di kalangan ksatria Jawa. Oleh sebab itu, “Susilo Bambang Yudhoyono” dapat pula berarti “seorang ksatria yang siap untuk menghadapi tantangan kehidupan dengan cara yang tepat”.

Lalu kita mempunyai Wakil Presiden Yusuf Kalla. Nabi Yosef atau Yusuf ialah satu di antara nabi-nabi tampan dan menarik hati. Beliau ialah seorang pemimpi. Ia adalah manusia visioner. “Kalla” barangkali distorsi dari kata “kaala” artinya “waktu”. Sehingga nama itu berarti “seseorang yang siap untuk beradaptasi dan mengikuti perkembangan jaman dengan ceria”.

Kita masih memiliki sepasang nama untuk diulas dan dipahami, seperti Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Agung Laksono, “Agung” berarti “besar atau mulia”. “Laksono” ialah “tujuan” juga “lakshan” atau “kemampuan untuk mencapai tujuan dengan cara terhormat”.

Lalu kita mempunyai Ketua Majalis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Hidayat Nur Wahid, “cahaya Ilahi”, “Ia yang maha mengasihi”.

Soeharto ialah nama bagus lainnya “untuk memperoleh sesuatu seseorang musti bersikap jujur dan bertindak bijak”.

Nama kita berfungsi untuk mengingatkan kita agar potensi itu disadari, dan kita musti bekerja keras untuk memunculkannya. Pada saat yang sama, nama juga berfungsi sebagai peringatan kalau kita melanggar ketentuan tersebut, menjadi picik dan tidak menghidupi nilai tersebut.

Kita memiliki nama yang berbeda, tapi kita semua memiliki satu hal yang sama yaitu nilai keutamaan dalam nama kita tersebut. Secara lembut nama kita mengingatkan bahwa kita semua ialah sesama umat manusia. Kita memiliki satu anggota besar kemanusiaan. Kita berbagi bumi dan langit yang sama pula.

Sayangnya, kita melupakan motto “sharing” tersebut. Sehingga, kita tak lagi peduli terhadap orang lain. Dalam proses ini, kita terjatuh dari kemanusiaan kita, terjadi kemerosotan martabat kemanusiaan kita. Kita mengalami keterpurukan sampai ke level binatang.

Kekerasan yang kita saksikan di sekitar kita ialah proyeksi dari kebinatangan dalam diri kita, hewan dalam diri kita. Kita telah, dalam ketidaksadaran kita, merubah lingkungan masyarakat menjadi hutan.

Tatkala satu di antara kita diserang secara kejam oleh yang lainnya, sebagian besar dari kita diam saja. Ketika gerejamu dibakar, aku juga tak bersuara. Aku mengurung diriku dalam rumahku. Aku merasa kalau di sana aman. Aku lupa bahwa tangan yang menyulut api dan membakar gerejamu dapat pula membakar rumahku.

Mereka yang berkuasa dan dan berada di posisi untuk membela kaum tertindas takut melakukannya. Mereka lebih memikirkan kekuasaan dan kedudukan mereka sendiri. Para bandit di sekitar kita, perampok itu mengambil keuntungan dan merampas milik kita di siang bolong.

Para tokoh masyarakat, pemimpin kita, pemuka agama kita lebih memilih mengunjungi pelaku tindak kekerasan ketimbang mereka yang dianiaya. Apa yang sedang mereka pertontonkan? apa yang tengah mereka coba buat?

Arwah orang tua kita menangis keras, “Kami menamai kamu dengan niatan baik, harapan besar…Tapi, apa yang kamu telah perbuat? Sayangnya kita tak mendengar suara tangisan itu. Atau, barangkali telinga kita sudah menjadi tuli.

Kita sedang hidup dalam zaman percobaan, ketika kemanusiaan kita disalibkan. Semua yang baik dalam diri kita disalibkan. Martabat dan derajat kemanusiaan kita berada di salib.

Kita telah menyerah pada kekerasan. Kita merasa itu boleh saja dilakukan, sepanjang mereka yang diserang bukan keluraga kita sendiri. Kita tak mengetahui bahwa dengan melakukannya, kita bukan lagi pemimpin. Kita sudah mengurangi derajat kita menjadi pria dan wanita biasa yang cuma peduli pada keamanan keluarga kita sendiri.

Kita telah lupa arti dan nilai dalam nama yang diberikan pada kita oleh orang tua kita. Kita telah membuat contoh buruk bagi anak dan cucu kita. Ini sudah terlambat, tak ada yang bisa memutarkanbalikkan waktu. Sekarang, hitungan mundur menuju penghakiman terakhir dimulai dari detik ini.

Di sini, di dunia ini, sejarah akan menghakimi tindakan kita.

Di sana, di dunia selanjutnya, Dia yang Maha Besar akan menghakimi semuanya.

Jakarta Post, 23 Juni 2008