Seorang teman berkata padaku, “Untuk apa mengurusi hal itu, aku tak tertarik. Apa yang ku butuhkan itulah yang menjadi perhatian ku. Itu yang menjadi satu-satunya fokus perhatian ku…Aku bahkan sampai kini tak tahu bagaimana harus mencukupi kebutuhanku sendiri, kenapa aku harus memikirkan kebutuhan dunia kita saat ini?”
Dia (teman kita itu) jujur, akan tetapi dia tidak memahami maksud sebenarnya
Ia tak mampu melihat bahwa dengan mensikronisasikan kebutuhannya dengan apa yang dibutuhkan dunia, maka ia bisa menggunakan ribuan kali lipat energi untuk berkarya demi pemenuhan kebutuhan diri.
Berapa banyak energi yang kamu gunakan untuk mencapai impian-impianmu menjadi kenyataan? Berapa banyak yang dapat kamu raih sendiri? Apakah kamu mampu meraih bintang? Tidak, kamu tak mampu melakukannya seorang diri.
Tapi, jika kamu bekerja dalam sebuah kelompok (tim), saling bergandengan tangan dengan seluruh umat manusia di dunia ini, suatu saat kalian pasti bisa meraih bintang. Jika kamu telah mampu meraih Bulan, Mars dan Venus maka ada harapan suatu ketika kalian akan meraih bintang terjauh.
Inilah apa yang saat ini “Dunia Butuhkan”!
Kerjasama tim, Kolaborasi – Usaha bersama, gotong-royong yang berdasar pada kesadaran akan kesalingketergantungan/kesalingterkaitan.
Usaha bersama, gotong royong yang tanpa disadari kesadaran semacam ini disebut Usaha Ventura (Modal Bisnis) Bersama. Dan tak ada satupun Usaha Ventura Bersama yang abadi. Yang kita butuhkan adalah Usaha Bersama, bukan Usaha Ventura (Modal Bisnis) Bersama.
Usaha Ventura Bersama berdasar pada subordinasi relasi antara tuan dan budak.
Jika kamu tak suka dengan istilah tuan dan budak, silakan menggantinya dengan istilah lainnya.
Kamu juga boleh menggunakan istilah Serikat Perburuhan di antara mereka.
Majikan dan pegawai atau apapun sebutannya, namun pada akhirnya, saat harus mendistribusikan kekayaan, pola pembagiannya tetap tak berubah selama berabad-abad sejarah peradaban umat manusia.
Sang majikan mendapat bagian lebih besar dari apa yang telah dihasilkan bersama, sedangkan si budak mendapat porsi lebih sedikit, yang jumlahnya tergantung pada keputusan Sang majikan.
Pola pembagian semacam ini, Usaha Ventura Bersama, masih wajar jika berlaku di Perusahaan Terbatas, Usaha Kecil, dan industri berskala kecil – tapi jika ini diterapkan pada Urusan Dunia, pembagian semacam ini tidak cocok digunakan.
Mungkin pola ini pernah berlaku di masa lampau, dan para majikan pernah mendapatkan keuntungan dari proporsi pembagian macam ini…tapi, mampu bertahan berapa lama, dan harga apa yang harus dibayar?
Lebih sering terjadi, usaha bisnis semacam ini akan berakhir dengan perselisihan dan kepahitan, baik itu yang dirasakan oleh sang majikan ataupun si pegawai.
Usaha Ventura Bersama juga memberi peluang pada bangkitnya paham kolonialisme atau penjajahan.
Inggris dan Belanda dan Spanyol, Prancis dan juga Portugis – mereka semua datang ke Asia sebagai pebisnis, pedagang.
Dan, mereka mulai berusaha, melakukan usaha modal bersama dengan penguasa lokal dan beberapa elit yang berkuasa.
Awalnya mereka berperan menjadi teman, kemudian beralih menjadi majikan dan penguasa. Dan mereka lebih suka peran yang kedua ketimbang peran yang pertama. Untuk mempertahankan posisi ini, mereka membuat para budak tergantung pada mereka. Memang begitu adanya tapi sangat alami, dalam usaha bisnis seperti ini – dalam hubungan seperti ini. Tanpa tergantung dengan para penguasa, para budak tak akan bisa selalu menjadi budak.
Tapi pola ketergantungan macam itu tak bisa bertahan selamanya karena perbudakan sungguh tak alami dan berlawanan dengan takdir alamnya sebagai manusia. Yaitu Kebebasan. Perlahan tapi pasti, sang teman yang telah menjadi budak ini menyadari kembali takdir alamnya. Mereka menjadi sadar bahwa Kebebasan adalah hak asasi yang sudah mereka punya sejak lahir. Kesadaran semacam inilah, yang kemudian, memberi mereka kekuatan untuk berjuang – berjuang demi kemerdekaan, untuk memperjuangkan hak-hak asasi mereka, dan melawan perbudakan.
Dengan menciptakan ketergantungan, kita juga menciptakan keresahan, pertengkaran bahkan peperangan. Karena pola relasi ketergantungan yang kita ciptakan – maka dunia kita saat ini mewarisi perselisihan dan konflik sejak masa lalu sampai masa yang sepertinya tak akan berakhir.
Kita menciptakan sebuah negara Yahudi dan membuatnya tergantung pada kita – tapi tak pernah memikirkan sebuah negara untuk rakyat Palestina.
Kita memecah belah India menjadi berkeping-keping dan dan membiarkan kepingan tersebut dirampas oleh siapa saja untuk dirinya sendiri.
Kita mendukung pembentukan Lebanon tanpa mempertimbangkan dampak bagi tetangganya seperti Siria dan negara lainnya.
Kita telah mendukung raja-raja yang tak populis berkuasa di banyak negeri-negeri Timur Tengah, membuat mereka supaya tergantung pada kita, dan menggunakan mereka semau gue seperti yang dilakukan dalang terhadap wayang-wayang/boneka-bonekanya. Dan akibatnya apa ? Al Qaeda…benih kebencian dan kekecewaan pada kebijakan kita itulah yang menumbuhkan tunas-tunas terorisme, pelbagai organisasi teroris beserta aktivitasnya yang merusak.
Untuk mengulas lebih jauh tentang ini, lain kali, sekarang kita kembali ke subjek bahasan kita, ke pertanyaan mendasar kita : Apa yang dunia kita butuhkan saat ini? Jawabnya adalah kesalingtergantungan, dan bukan ketergantungan – inilah yang kita semua butuhkan. Itulah yang dunia kita butuhkan.
Sangat bodoh untuk menganggap bahwa kebutuhanku berada di atas kebutuhan dunia kita. Aku adalah bagian dari dunia ini. Kebutuhanku hanya satu sel dari keseluruhan tubuh dunia kita. Lebih bijaksana jika satu sel ini menjadi segaris dan sinergis dengan apa yang tubuh kita butuhkan. karena tubuh punya kemampuan intelegensia untuk melenyapkan apa yang sesungguhnya tak kita butuhkan.
Di atas segalanya, kenapa aku harus punya kebutuhan “pribadi”?
Individualitasku, kepribadianku hanya masuk akal dan bermakna jika berada dalam koridor universalitas, kebersamaan seluruh dunia ini. Aku butuh makan, Aku butuh pakaian, Aku butuh tempat tinggal, Aku butuh kenyamanan secukupnya, Aku butuh melakukan aktivitas seks dan perawatan kesehatan. Untuk memenuhi segala kebutuhan tersebut, aku butuh pekerjaan, aku butuh pemasukan yang reguler – tapi apakah semua kebutuhan tersebut menjadi milikku semata? Tidak, kebutuhan tersebut menjadi “milik” yang harus dibagikan oleh setiap orang yang hidup di seluruh dunia ini.
Jika saja Aku dapat memahami hal ini, maka apa yang biasa disebut kebutuhan “individu” sebenarnya bukanlah kebutuhan pribadi dan itulah universal, adalah kebutuhan setiap orang lain – maka aku tidak bisa tidak selain memulai/memicu Usaha Bersama dalam rangka memenuhi kebutuhan semua itu. Maka saya harus “berkongsi” dalam “Usaha.” Dapatkah kamu bayangkan berapa banyak energi yang diperlukan Usaha Bersama itu untuk menciptakan? Luar Biasa Besar, dan melampaui imaginasi dan tebakan siapapun.
Energi seperti ini pasti membuahkan hal yang hebat. Namun seseorang tak perlu memikirkan hasilnya. Ibarat buah yang sudah matang di pohon, akibat/proses jatuhnya buah tadi ke dalam keranjang tanpa upaya dan alamiah sekali…
Lantas apa yang akan terjadi jika kita tidak bekerja sama sebagai sebuah tim, tapi kita se-tim?
Itu pertanyaan yang kurang tepat.
Dapatkan kita bekerja sebaliknya?
Pertanyaan yang lebih tepat adalah bagaimana caranya bekerja dalam satu tim dan secara tim.
Suka atau tidak suka, kita harus bekerja dalam satu tim dan secara tim. Kita harus bergotong royong, berusaha bersama dengan dilandasi semangat kesalingtergantungan yang kita butuhkan. Itu lah gunanya kita belajar bekerja secara tim. Jika tidak kita akan selalu menjadi pecundang… kita tertinggal di belakang…sementara, saat ini di sini, Dunia kita tetap berputar, meski tanpa keterlibatan kita sekalipun…