Aku harus menyatakan secara jelas sekali sejak dari awal, bahwa aku tidak setuju dengan penyerangan Israel terhadap, apa yang media sebut, entah benar atau salah, sebagai Negara Lebanon.

Penyerangan Israel, dan sekali lagi aku tegaskan bahwa aku menentangnya, bukanlah penyerangan terhadap Negara Lebanon. Ini serangan terhadap Hisbullah, sebuah kelompok militan yang menggunakan topeng agama untuk memperjuangkan ideologinya. Mereka telah menjadikan tanah Lebanon sebagai markas besar. Sehingga, hal ini harus dipahami dengan jelas sekali bahwa penyerangan Israel bukan terhadap Lebanon, tapi Hisbullah, sebuah kelompok militan. Tapi sayangnya, dan yang amat menyedihkan bahwa rakyat Lebanon harus menderita, rakyat yang polos dan cinta damai harus menanggung derita karenanya .

Rakyat Lebanon telah banyak menderita di masa lampau, dan sampai kini kian menderita…Kenapa? Untuk menemukan jawabannya kita harus menelusuri sejarah Bangsa Lebanon. Negara Lebanon, sebagaimana juga Negara Israel, dibentuk oleh sekutu setelah perang dunia. Alasan pendiriannya ialah untuk menampung umat Kristiani di wilayah tesebut, sebagian besar berasal dari Syria. Alasan pendirian Negara Israel juga sama, yakni untuk menampung orang Yahudi.

Tak jauh dari daerah tersebut, dari timur tengah – di anak benua India juga ada sebuah negara yang didirikan untuk menampung umat Muslim, Dan itulah sebab lahirnya Pakistan.

Sekarang, ketika kita menyaksikan kondisi secara umum di negara-negara tesebut, apa yang kita jumpai coba? Tak ada yang lain, kecuali konflik, pertikaian, perseteruan. Orang-orang di sana, walau hidup makmur, tapi tak merasa damai. Mereka dihantui ketakutan terus-menerus. Kenapa? Karena mereka menggunakan agama untuk mengkotak-kotakkan manusia dan mendirikan negara berdasar pembedaan ini. Agama, apapun alasannya, setiap agama, tak dimaksudkan untuk itu. Agama itu menyatukan dan bukannya memisahkan.

Amat jelas bahwa Sekutu, temasuk para superiornya, pemerintah dan pejabat tingginya – tak mamahami apa itu agama. Begitupula seterunya di tingkatan lokal. Para politisi lokal tersebut mengunakan agama untuk meraih kekuasaan semata. Ini semua masalah politik, dan mereka menggunakan agama untuk memuaskan nasfu guna meraih kekuasaan dan jabatan.

Dan, sehingga saat Jinna, Bapak Bangsa Pakistan membuat penyataan bahwa Negara seyogyanya menghormati semua agama secara adil dan melindungi rakyat yang bebeda agama – para kaum fundamentalis tak menyukai hal ini. Mereka bahkan mencoba membunuhnya. Mereka memahmi, menterjemahkan dan menginterpretasikan agama secara berbeda dari Jinnah.

Ironisnya ialah perbedaan semacam ini telah terjadi terus sejak dahulu kala.
Doktrin dan dogma keagamaan adalah subjek yang bisa diinterpretasikan dan disalah interpretasikan. Tak peduli seberapa ketat kamu mencoba menjaga kemurnian, mengamankan dan memproteksinya dengan interpretasi-interpretasi tertentu, agama secara alamiah bersifat terbuka, dan sehingga akan selalu ada peluang untuk dipahami dan disalahpahami. Sekarang, apa yang kamu harapkan ketika kamu menjadikan dogma dan doktrin menjadi ideologi sebuah negara? Kamu menciptakan negara yang rapuh yang harus diperintah dengan tangan besi. Tanpa junta militer, kamu tak dapat mempertahankan negara semacam ini untuk sekian lama.

Hal ini terbukti dalam pendirian negara Bangladesh.
Pakistan tak dapat mempertahankan daerah bagian timur selam 3 dekade. Walau kedua bagian, barat dan timur, berlatar belakang agama sama. Mayoritas Muslim. Tapi tetap saja mereka tak dapat hidup bersama. Kerena masing-masing dari mereka menginterpretasikan agama berdasar latar belakang budayanya sendiri-sendiri. Pakistan Barat banyak dipengaruhi oleh budaya Punjabi, yang amat agresif, mirip dengan budaya Arab. Pakistan Timur dipengaruhi Budaya Bengali, yang merupakan kombinasi antara India Tengah dan Selatan serta budaya China, mereka lebih kalem, tidak tempramental. Dan Pemerintah yang berada di bagian tengah lebih dekat dengan kaum Punjabi dan mereka mulai mengekploitasi dan menindas. Sampai akhirnya rakyat Bengali memutuskan cukup sudah, dan berjuang untuk kemerdekaan mereka. Dan mereka berhasil. Maka lahirlah Bangladesh.

Agama adalah sesuatu yang personal.
Ini bukan cuma urusan kepercayaan, tapi tingkahlakulah yang lebih penting. Untuk mencapai hal itu, seorang individu harus memiliki kebebasan untuk memahami, menginterpretasikan dan mepraktekkan agama sesuai dengan kebutuhannya. Ide dasar dari setiap agama menurutku adalah untuk menjadikan setiap laki-laki dan perempuan sebagai seorang kontributor – seorang kontributor bagi perdamain, untuk mencintai, untuk saling memahami, untuk menjalin persahabatan dan persatuan dengan semua.

Sekarang, bagaimana seorang dokter berkontribusi pada hal-hal tersebut? Dan, bagaimana seorang insinyur berkontribusi? Tentu saja, masing-masing dari mereka itu menggunakan kemampuan dan pengalaman akademis dan latar belakang profesinya untuk memberikan kontribusi tertentu. Seorang dokter dapat berkontribusi dengan bekerja bagi “Kesehatan untuk semua”. Seorang Insinyur harus berkontribusi dengan “Membangun jembatan untuk semua”. Kamu tak bisa memaksa seorang dokter membangun sebuah jembatan atau sebaliknya seorang insinyur untuk urusan kesehatn. Makanya, seorang dokter harus memiliki kebebasan untuk menginterpretasikan agama bagi urusan kesehatan, dan seorang insinyur harus memiliki kebebasan untuk menginterpretasikannya untuk sebuah urusan yang berbeda pula.

Apa yang kita temukan saat ini justru kebalikannya.

Hak untuk menginterpretasikan hanya dimiliki oleh segelintir pemuaka agama. Dan, mereka menngupayakan supaya tak ada orang lain yang boleh memiliki hak yang sama. Setiap upaya yang dilakukan oleh orang lain diluar kelompok elite ini akan dituduh sesat. Untuk mengokohkan posisi, kekuasaan dan otoritas tunggal ini, mereka sering bergandengan tangan dengan para politisi dan pembuat kebijakan yang memiliki concern yang sama. Mereka juga bernafsu menduduki jabatan selamanya. Sehingga, kombinasi antara dua kelompok ini, para pemuka agama dan pembuat kebijakan politis – sungguh sempurna. Hubungan mereka terjalin dengan begitu mesra.

Sekarang, apakah Demokrasi cocok dengan kombinasi semacam ini?
Tidak, tak bisa. Ini tak ada tempat bagi kombinasi semacam ini.

Kamu tak setuju, tentu, tak mungkin mengharapkan Demokrasi di negara konservatif macam Saudi, bahkan di Emirate sekalipun yang merupakan negara modern di Timur Tengah.

Lebanon telah berupaya untuk memperjuangkan sesuatu yang berbeda. Lebanon telah mencoba memerdekan bangsanya dalam arti yang sebenar-benarnya. Mereka telah mencoba membangun sebuah negara merdeka di mana rakyat dapat mengekspresikan diri mereka secara bebas. Sayangnya, sebelum melakukan itu mereka lupa untuk menangani kelompok radikal dalam sistem mereka. Dan, ketika akhirnya mereka menyadari kesalahan ini dan mencoba melakukan sesuatu, ini sudah terlambat. Kelompok radikal tersebut telah menjadi militan. Mereka itulah kelompok militan yang kita kenal sebagai Hisbullah.

Apa yang Indonesia harus pelajari dari hal ini?
Kita seharusnya tak membuat kesalahan yang sama dengan yang diperbuat Lebanon. Kelompok radikal harus dibubarkan atau ditindak tegas demi perdamaian. Tentu semua harus dilakukan tapa kekerasan.

Kelompok radikal yang mengambil alih tugas polisi harus dihentikan. Mereka tak dapat menghancurkan atas nama hukum. Mereka tak dapat menghujat seseorang atas nama agama. Mereka tak mewakili agama tertentu. Jangan tertipu karena mereka menggunakan atribut atau nama agama untuk organisasinya.

Lebanon mengijinkan militan Hisbullah tumbuh dan berkembang, dan sekarang seluruh anak bangsa menderita atas kelalaian ini. Rakyat Lebanon terancam, mereka disandera oleh para milisi. Lebanon sesungguhnya menolak dan hendak mengakhiri perang. Hariri, pemimpin negara yang terakhir yang hendak menandatangani perjanjian damai untuk negaranya, perdamaain antara paksi yang bertikai di Lebanon. Apa yang terjadi padanya coba? Ia dibunuh dengan sadis. Siapa yang membunuhnya? tebakanmu tepat sama dengan dugaanku.

Kelompok radikal dan militan tak berguna bagi bangsa ini. Mereka tidak pernah membela rakyat. Mereka berjuang demi keuntungan kelompok mereka sendiri, orang-orangnya sendiri. Mereka berjuang untuk apa yang mereka percayai sebagai satu ideal. Mereka menghalalkan kekerasan dan anarki. Tapi, siapapun mereka, mereka adalah saudara kita juga. Kita tak boleh membalas satu lemparan batupun dalam upaya membubarkan mereka, untuk membuat mereka paham bahwa cara kekerasan tak akan pernah berhasil.

Kamu tak setuju dengan kebijakan politis Pemerintah Amerika, US Goverment. Aku juga. Aku tak setuju dengan kebijakan mereka juga. Tapi, aku tak akan mengebom rakyat Amerika untuk itu. Aku tak mau melukai siapa saja yang tangan ini bisa jangkau. Aku tidak bermusuhan dengan mereka. Aku tidak melawan politisi Amerika dan diplomatnya. Aku memang menentang kebijakannya, terutama kebijakan luar negrinya, yang mempengaruhi diriku, membawa dampak bagi bangsaku. Makanya, aku harus cukup cerdas untuk menyatakan ideku dan meyakinkan mereka bahwa kebijakan mereka butuh segera diperbaiki. Aku harus bisa membuat mereka melihat kebenaran secara lebih holistis.

Di atas segalanya, aku harus dapat membebaskan mereka dari rasa takut.
Mereka harus diyakinkan bahwa kita semua sahabat, dan tak harus ditakuti. Sekali saj mereka meyakini itu, seluruh cara pandang dan tingkah lakunya pada kita akan berubah. Ini harus dirubah. Musti berubah.

Aku tak bermusuhan pula dengan Hisbulah.
Begitupula dengan kelompok radikal dan militan di negaraku ini.
Seringkali aku bersimpati dengan perjuangan mereka. Tapi, bukan dengan cara mereka – aku tidak bersimpati dengan cara kekerasan yang mereka adopsi.

Ini bukan hanya tugas kita, tapi tanggungjawab Pemerintah untuk melihat masalah ini, mereka mengira tak ada radikalisme di sini. Seringkali kita dengar hal ini. Kita membiarkan fanatisme, menurut pendapat kita, ini tak berbahaya. Aku pernah mendengar ada seorang Mentri yang menyatakan bahwa menjadi fanatis dalam agama kita sendiri tidaklah kliru. Fanatisme adalah rahim di mana radikalisme berkembang, dan akhirnya para teroris dilahirkan. Orang yang fanatik dapat berubah menjadi fasis dengan begitu mudah. Dalam banyak kasus, seorang fanatik sudah menjadi keras l kepala dan karakter keras adalah gejala awal untuk bisa melakukan kekerasan. Orang memang harus berpendirian, tapi bukan keras. Keteguhan menghargai pemahaman dan cara pandang orang lain. Sedangkan sikap keras kepala, tak ada urusan dan tak kenal pada kesaling pengertian.

Langkah pertama, Indonesia harus membebaskan sistem pendidikan dari mata pelajaran agama. Nilai-nilai religiusitas yang universal harus mewarnai seluruh mata pelajaran kita. Itulah pemahaman yang lebih tepat atas agama dan cara yang baik untuk mempropagandakan nilai–nilai luhur agama.

Dengan mengajarkan agama sebagai satu mata pelajaran, kita tidak dapat mempelajari perbedaan antara satu agama dan yang lainnya. Kita juga terjebak asumsi bahwa agama kita adalah yang terbaik. Dalam hal ini, kita melupakan Hukum Kekekalan Alam Sebab-Akibat yang berlaku sama bagi semua agama. Dengan cara ini kita telah menracuni dan mengkontaminasi pikiran lembut anak-anak kita. Dalam ketidaksadaran kita, kita telah membuka jalan bagi mereka untuk menjadi seorang yang fanatis dan fasis.

Lebanon telah menderita banyak karena membiarkan anak-anak mereka belajar agama dengan cara itu. Apakah kita belajar dari kesalahan dan penderitaan mereka? atau, apakah kita justru mengulangi kesalahan mereka dan membawa penderitaan bagi rakyat kita? Pilihannya ada di tangan kita – diriku ini dan dirimu. Dan, kita kita harus memutuskannya sekarang. Atau, ini akan terlambat. Dan, Pengalaman Lebanon akan menjadi pengalaman kita pula.