Puluhan tahun silam, Presiden pertama kita, Soekarno, menertawai penjual makanan dan minuman India yang secara provokatif menempelkan identitas keagamaan di plang pintu masuk, “Kedai Teh Hindu” atau “Restoran Muslim”.

Tapi itu dulu, tahun 1940-an. India kini jauh berbeda. Bintang film yang beragama Muslim seperti Sharukh Khan, Aamir Khan dan Salman Khan menjadi idola semua golongan. Negara yang mayoritas penduduknya beragama Hindu itu memiliki Perdana Menteri beragama Sikh. Partai yang berkuasa dipimpin oleh orang Katholik kelahiran Italia. Dan, seorang Presiden Muslim baru saja diganti oleh tokoh perempuan.

Ada suatu masa di mana seorang Pemenang Nobel Pertama dari Asia, Tagore, memadahkan kidung pujian bagi Keragaman Budaya Indonesia, dan Presiden India, Radhakrishnan, takjub akan hubungan harmonis antar kelompok agama yang berbeda di sini. Indonesia masa kini, sayangnya, berbeda…

Saya mengutip “Laporan Kebebasan Beragama tahun 2007 Departemen Luar Negri Amerika Serikat” tentang Indonesia, dikeluarkan oleh Biro Demokrasi, Hak Asasi Manusia (HAM), dan Perburuhan pada 14 September 2007 silam.

“Undang Undang Dasar (UUD) menjamin kebebasan beragama, dan secara umum Pemerintah menghargai hak tersebut dalam kehidupan berbangsa. Tidak ada perubahan status kondisi atas kebebasan beragama oleh Pemerintah selama berlangsungnya periode laporan ini, dan kebijakan Pemerintah secara umum terus mengarah pada kebebasan beragama. Namun demikian, walau sebagian besar populasi menikmati kebebasan beragama yang tinggi, Pemerintah hanya mengakui 6 agama besar. Beberapa pembatasan hukum tetap dilakukan terhadap aktivitas keagamaan tertentu dan agama-agama yang tidak diakui. Pemerintah kadang-kadang membiarkan tindakan diskriminatif dan kesewenangan terhadap kelompok-kelompok agama tertentu oleh gerombolan tertentu tanpa menindaknya. Walau Aceh merupakan satu-satunya propinsi yang diijinkan memberlakukan hukum Islam (Syariah), beberapa pemerintah daerah di luar Aceh juga mulai memberlakukan peraturan daerah yang mengadopsi doktrin syariat yang justru membatasi hak-hak kaum perempuan dan kelompok agama minoritas lainnya. Pemerintah tidak menggunakan kewenangan konstitusional atas masalah keagamaan untuk meninjau kembali atau membatalkan peraturan daerah tersebut. Orang-orang dari kelompok agama minoritas dan aliran kepercayaan terus mengalami diskriminasi hukum, sering kali pada pencatatan sipil saat menikah dan kelahiran atau pembuatan Kartu Tanda Penduduk (KTP).

“Masyarakat secara umum menghargai kebebasan beragama; namun kelompok ekstrimis mengunakan cara-cara kekerasan dan intimidatif untuk memaksa penutupan delapan gereja tidak resmi dan satu masjid Ahmadiyah. Selain itu beberapa gereja lain dan tempat ibadah Ahmadiyah yang pernah disegel secara paksa beberapa tahun silam oleh gerombolan itu sampai saat ini pun masih ditutup. Beberapa pejabat pemerintah dan organisasi massa tertentu tetap menolak interpretasi Ahmadiyah atas ajaran Islam dan melakukan diskriminasi terhadap pengikutnya.
Banyak pelaku tindak kriminal di masa lalu yang pernah bertindak sewenang-wenang terhadap kelompok minoritas ini justru kebal hukum. Juga, pada saat penulisan laporan, banyak penyerangan dan terror dilakukan oleh beberapa kelompok ekstrimis terhadap pemeluk agama yang berbeda pada propinsi-propinsi tertentu.”

Dalam laporan ini juga tertulis, dan ini amat memalukan: “Pemerintah kadang-kadang membiarkan kelompok ekstrimis yang mengunakan cara-cara kekerasan dan intimidasi terhadap pemeluk agama yang berbeda, dan tidak menghukumnya. Pemerintah tidak menggunakan kewenangan konstitusional untuk meninjau kembali ataupun membatalkan peraturan daerah yang melanggar kebebasan beragama.”

Banyak tempat ibadah diserang dan dibakar, tetapi seperti yang dilaporkan:
“Walau hadir pada saat itu, polisi jarang mencegah penutupan gereja dan kadang-kadang malah membantu kelompok militan. Di awal tahun 2006 Pemerintah Pusat menyatakan komitmennya untuk menindak tegas dan mengantisipasi perbuatan brutal kelompok militan yang merusak tempat-tempat ibadah dan sarana umum lainnya. Tetapi pada akhir penulisan laporan ini, tidak ada laporan yang terkait pelaksanaan janji tersebut.”

Insiden terakhir adalah perusakan Pura Sangkareang, pura pemujaan Hindu di Lombok Barat, pada 13 Januari tahun ini. Padahal bangunan ini menurut sejarah sudah ada sejak abad ke-17. Masyarakat Hindu di sana hendak merenovasi kuil pemujaan tersebut; mungkin mereka memiliki dana lebih dan berniat membuat pura yang lebih indah. Lalu kenapa? Tiada yang salah, tapi tampaknya kepala desa di sana mengkaitkan aktivitas itu dengan misionarisme dan melihatnya sebagai upaya menyebarluaskan kembali ajaran Hindu.

Menakjubkan, menarik sekali, sekaligus menyedihkan. Kita selalu melihat orang lain sebagai pantulan wajah kita sendiri. Kita pikir orang lain itu melakukan apa yang selama ini kita perbuat.

Kita selalu membenarkan tindakan mengkonversi seseorang dari agama lain masuk agama kita sebagai bagian dari Tugas Suci. Tetapi kita tak pernah bisa menerima pembenaran serupa dari pemeluk agama lain. Seseorang yang memeluk agama “ku” itu adalah benar. Seseorang yang menyangkal agama “ku” maka ia telah sesat. Ketika kamu menyangkal agama “ku”, ego “ku” tersakiti, dan itu berarti kamu salah. Kamu telah berbuat salah pada “ku”.

Kita bersikap dan bertindak diskriminatif, karena kita masih berpikir dengan pola sama. Selama menurutku agamaku adalah yang terbaik dan agamamu cuma bisa kutoleransi – maka kita tak akan pernah menyelesaikan pekerjaan rumah kita. Kebebasan beragama hanya sekedar wacana belaka.

Apa yang kita butuhkan saat ini bukan sekedar toleransi belaka, tetapi “apresiasi” yang mendalam dan tulus. Saya harus menghargai dan menghormati keyakinanmu sama seperti saya menghargai dan menghormati keyakinanku sendiri. Saya harus menerima dan di atas segalanya mengapresiasi perbedaan di antara kita.

Hanya dengan apresiasi kita bisa membangun kepercayaan di antara kita. Hanya lewat apresiasi pulalah kita mampu menjembatani perbedaan di antara kita. Absennya apresiasi semacam inilah yang menyebabkan masyarakat kita terpecah belah.

Kutipan laporan itu menambahkan: “Sejak Pemerintah mengeluarkan Surat Keputusan Bersama Dua Menteri yang baru soal Pembangunan Tempat Ibadah pada Maret 2006, sebagai revisi atas peraturan tahun 1969, implementasi dan pemenuhan hak asasi tersebut tak selalu berjalan lancar di tingkat daerah.
Selama periode laporan ini, beberapa kelompok Kristen dan Hindu mengalami tindakan diskriminatif yang sporadis di tingkat daerah. Pejabat daerah menolak memberikan izin pembangunan Gereja dan Pura walau mereka telah mengumpulkan tanda tangan sesuai aturan yang berlaku. Misalnya, komunitas masyarakat Hindu tak bisa membangun Pura di sekitar Jakarta walau mereka sudah memenuhi kuota jumlah tanda tangan yang dibutuhkan.”

Berdasarkan Surat Keputusan Bersama Dua Menteri yang dikeluarkan pada 21 Maret 2006 silam, kelompok agama yang hendak membangun tempat ibadah wajib membubuhkan minimal 90 tanda tangan dari umatnya dan 60 tanda tangan dukungan pembangunan dari pemeluk agama yang berbeda di lingkungan tersebut, serta menyertakan surat persetujuan dari kantor urusan agama setempat.

Sangat jelas, peraturan ini dimaksudkan untuk mempersulit kelompok minoritas membangun tempat ibadahnya. Ini adalah bukti nyata tindakan yang diskriminasif. Tetapi ini bukan satu-satunya peraturan yang diskriminatif.
Masih banyak peraturan lain yang harus segera direvisi ulang jika kita serius dalam komitmen untuk mendukung Bhinneka Tunggal Ika, yang menjadi motto bangsa ini.

Dalam ketidaksadaran, kita telah membawa negri ini ke tepi jurang disintegrasi. Tak hanya para pencetus dan pembuat kebijakan tersebut, melainkan juga kita semua yang duduk diam, harus bertanggungjawab pada anak cucu kita jika bangsa ini terpecah-belah. Marilah kita lakukan sesuatu untuk mencegahnya…..

Terjemahan oleh Nugroho Angkasa, Roy B. Efferin