Membaca buku Pemenang Nobel V.S Naipaul tentang India, terkesan penulisnya merasa kecewa terhadap India. Ia bicara betapa tinggi kebudayaan India di masa silam, sekaligus menyebutnya sebagai peradaban yang terluka. Memang Naipaul bukan satu-satunya orang yang kecewa. India telah mengecewakan banyak orang, dan terus melanjutkannya.
Beberapa waktu lalu, Inggris yang pertama kali kecewa, mereka mengira India tak akan mampu mempertahankan kemerdekaannya lebih dari satu dekade. Tapi para pengamat ekonomi terbukti keliru karena belakangan pertumbuhan dan kemajuan negara ini justru begitu pesat. Diplomat luar negri yang bermarkas di New Delhi terus berusaha memahami bagaimana hebatnya India!
“India terancam kehilangan identitasnya,” kata seorang diplomat luar negri yang bermarkas di New Delhi, “karena globalisasi and pengaruh barat”. Mungkin begitu, tapi kita juga harus ingat bahwa India pernah diserbu berkali-kali lebih sering ketimbang negara lainnya, ia juga pernah dikuasai asing selama satu satu milenium, tapi toh tetap mampu mempertahankan identitasnya.
Tak seperti Kebaya kita, Kain dan Sarung, Sari-nya, Kurta dan Piyama tak kalah populer dengan model pakaian Barat. India yang “Senantiasa Berubah” memang terlihat kasat mata di jalanan kota seperti Delhi, Mumbai, Chennai dan Kalkuta – tapi itu tidak berlaku di daerah terpencil dan pedesaan.
“India yang menakjubkan” bukan sekedar slogan yang diadopsi Departemen Pariwisata India, tapi sebuah fakta yang tak terbantahkan oleh seluruh dunia. Suka atau tidak, kehebatan India tersebut akan berdampak pada kita semua. Atau mungkin sudah. Apa jadinya?
Industri automobil sudah dikuasai India dan diakui para ahli manufaktur sebagai yang paling murah di dunia. Para pencinta lingkungan memperingatkan gejala ini karena semakin banyak mobil di jalan berarti lebih parah tingkat polusi yang terjadi. Tapi, bukan cuma dalam sektor industri mobil – India juga mengancam lewat sektor industri lainnya, masih banyak lagi.
India sedang bangkit.
Bersamaan dengan itu, ratusan juta orang yang hidup jauh di bawah garis kemiskinan juga meningkat. Dan, ini adalah penduduk negara demokrasi terbesar di dunia – mereka bebas bicara, mengekpresikan pendapat, berpergian ke mana saja dan menanam investasi di negara manapun – tak seperti di China yang terbatas sekali hak-hak hidup rakyatnya. India ialah rumah bagi seperempat penduduk bumi. Angka itu begitu menakjubkan!
Republik India sedang bangkit…Dan, kebangkitannya memenuhi impian pendirinya. Nehru, PM pertama dan Arsitek Republik Modern yang berlandaskan industrialisasi, dan mimpinya kini telah terwujud. Begitu pula impian cucunya, PM Rajiv Gandhi, yang bekerja keras untuk membuka India terhadap Teknologi Modern, Komputerisasi dan Investasi luar negri.
PM Republik ini, Manmohan Singh bercita-cita agar ekonomi India kuat. Mimpinya juga telah menjadi kenyataan. Ia juga begitu yakin bahwa di tahun-tahun mendatang, tak satupun rakyat India yang hidup di bawah garis kemiskinan.
Pertama Industrialisasi, lalu Komputerisasi, sekarang Pertumbuhan Ekonomi terimaksih pada Investasi Luar Negri – pertanyaannya mau ke mana dan apa yang Republik India ini inginkan?
Beberapa dekade lalu, Bapak Bangsa, Gandhi, Sang Mahatma, Jiwa Besar memperingatkan bangsanya, sekaligus kita semua: “Industrialisasi, aku khawatir, itu akan menjadi kutukan bagi umat manusia. Industrialisasi tergantung sepenuhnya pada kemampuan mengeksploitasi, sehingga terbuka lebar pasar luar negri di hadapanmu, dan meniadakan pesaing lainnya…Negara besar seperti India tak bisa bergantung pada Industrialisasi. Tapi faktanya, India, tatkala ia mulai mengeksploitasi negara lain – karena hal ini harus dilakukan sebagai konsekuensi industrialisasi – akan manjadi kutukan bagi negara-negara lain, petaka bagi seluruh dunia. Itulah sebabnya kenapa aku berpikir industrialisasi India akan mengeksploitasi negara lain?“
Saya membicarakan filosofi Gandhi ini dengan seorang diplomat India, dan ia secara santai menanggapi:”Itu dulu. Hidup kini lebih mudah. Apa yang terlihat tak serumit yang dibayangkan….”
Dengan kata lain,”Tuan Gandhi, pendapat Anda tak relevan lagi untuk India masa kini!”
Lihatlah perubahan Iklim dan dampaknya pada kita semua, di atas segalanya apa penyebab utama perubahan itu – dan Anda dapat melihat jelas betapa relevan ucapan Gandhi dengan situasi saat ini…pertimbangkan Slogan PBB dan para pencinta lingkungan “Kurangi, Daur ulang, Pakai ulang” – betapa Gandhi menjadi masuk akal sekali:
“Apa penyebab kekacauan saat ini? ialah eksplotasi, aku tak bilang, negara kuat menindas negara yang lemah, tapi sesama saudara saling menghisap. Dan keberatan utamaku ialah pada mekanisasi karena faktanya mekanisasi itulah yang memungkinkan negara tersebut mengeksploitasi yang lainnya.”
Sekarang, lihat China: industrialisasinya tanpa kasih sayang, tega menindas rakyatnya sendiri, produksi berlebih dan mereka lantas menerapkan dumping di seluruh dunia sehingga menyebabkan kematian massal industri lokal di mana-mana. Dan, sekarang tiba-tiba Gandhi hidup kembali!
“Penduduk pedesaan dan rakyat kecil India banyak yang kelaparan dan perlahan tenggelam dalam keputusasaan. Mereka pun tahu bahwa penderitaan mereka tersebut menyamankan para wakil rakyat dan perantara lain yang mendapat komisi dari para cukong di luar sana, yang sejatinya diambil dari rakyatnya sendiri.
Ubah kata “India” dengan “Indonesia” dan Gandhi menjadi relevan sekali dengan kita pula. Petani di sini tak bisa lagi menjual langsung produk mereka kepada pembeli; harus lewat hipermarket yang dimiliki orang asing. Bahkan kita harus membeli air minum dari orang asing yang cuma bisa membuat botolnya.
Lawatan terakhir saya ke India membuat saya kecewa atas pertumbuhan dan kemajuan India. Bukan saja pertumbuhan ekonomi dan kemajuan material semata, melainkan melonjaknya keserakahan serta degresi spiritual. Kekayaan tak menghilangkan rasa laparnya, tapi malah membuatnya semakin serakah dan mau memiliki lebih dan lebih lagi. Ritual agama dan tradisi memang masih ada, tapi spirit di balik ritual, yakni nilai-nilai budaya dan spiritualitas justru cepat memudar.
Perjalanan itu membawa saya meniti ke dalam diri, menatap situasi negaraku sendiri. Bagaimana kondisi kita saat ini? Sama buruknya. Situasi kita tak lebih baik.Dalam ketidaksadarannya, India menggadaikan jiwanya demi kepingan perak. Kita, di sini, mungkin sudah menjual jiwa kita. Hipermaret yang dimiliki oleh orang asing mematikan akses pasar tradisional dan pedagang kecil. Mereka kini mulai memasuki jalur usaha tersebut dengan menguasai mata rantai perdagangan retail kita.
Lalu, apa yang musti dilakukan? Dapatkan kita menghentikan roda raksasa Globalisasi? haruskah kita berkata tidak untuk investasi luar negri? apakah musti menolak industrialisasi dan komputerisasi? Dan, kalau begitu, lantas bagaimana cara kita mengatasi kemiskinan?
Gandhi berkata:”Kemiskinan harus pergi. Tetapi industrialisasi bukan jawabannya. Kejahatan tidak tinggal dalam penggunaan gerobak. Ia tumbuh subur dalam egoisme yang tak menghiraukan tetangga kita. Jika kita tak punya cinta untuk tetangga kita, perubahan serevolusioner apapun, tak akan membawa manfaat sama sekali.”
Bertahun-tahun lalu, saya mendiskusikan isu ini dengan Professor Emil Salim, yang pernah menjabat Menteri Lingkungan Hidup RI. Ia benar saat mengatakan, mungkin mengutip Gandhiji, bahwa India perlu lebih banyak koloni ketimbang Barat, apabila ia tak bisa mengendalikan keinginannya. Saya setuju. Saya tak bisa membayangkan akibat dari 1 milyar manusia yang menjadi serakah dengan mengejar keinginannya yang tak terkendali.