Javier Bardem, seorang bintang asal Spanyol, mengatakan, ”Sebuah penghargaan tidak membuatmu menjadi seorang bintang yang baik.” (An award doesn’t necessarily make you a better actor) Lalu, untuk apa mengejar sebuah penghargaan? Ya, mengejar….Karena, banyak di antara kita yang merasa belum menjadi cukup baik, bila belum mendapatkan penghargaan. Pertanda apakah ini?
Kurangnya Percaya Diri
Jika aku “menjadi” baik karena penghargaan yang kuterima, maka aku juga bisa menjadi tidak baik karena penghargaan yang tidak kuterima. Berarti, kebaikan diriku sepenuhnya tergantung pada penghargaan yang kuterima.
Penulis masyhur Tolstoy dan Mahatma Gandhi mempersembahkan seluruh hidup mereka untuk menyebarluaskan berita kasih dan damai -mereka tidak memperoleh penghargaan Nobel. Apakah komitmen mereka, kontibusi mereka, atau integritas mereka diragukan?
Bahkan, ada kalanya penghargaan tersebut diberikan kepada seorang yang belum membuktikan kontribusinya. Jadi penghargaan diberikan sebelum adanya hasil. Tahu kan maksud saya siapa? Permainan macam apa pula itu?
Ada kalanya…
Penghargaan Mematikan Kreativitas
Hampir semua penulis yang memperoleh penghargaan tertinggi untuk penulisan mereka, justru tidak mampu lagi menelurkan tulisan yang lebih baik. Kenapa? Karena, alam bawah sadarnya sudah meyakini bila dirinya sudah “berbuat yang terbaik”. Maka, ia diperbudak oleh keyakinannya sendiri, yang dalam hal ini justru mematikan kreativitasnya.
Lalu, untuk apakah penghargaan? Sekadar untuk menghargai apa yang telah dibuatnya, atau untuk memotivasi dia untuk berbuat yang lebin baik?
Jika tujuannya sekadar untuk menghargai apa yang telah dibuatnya, maka, okay. Tapi, jika tujuannya adalah “juga” untuk memotivasi supaya si pembuat kebaikan berbuat yang lebih baik lagi, maka sorry, belum tentu!
Nah, sekarang bicara-bicara tentang penghargaan macam Kalpataru dan Adipura. Yang pertama untuk lingkungan, dan yang kedua untuk kebersihan kota. Adalah penting bagi pihak yang memberi penghargaan itu untuk merenungkan kembali tujuan pemberian penghargaan.
Untuk apa penghargaan-penghargaan tersebut diberikan? Untuk mengapresiasi apa yang sudah dilakukan, untuk memotivasi supaya yang bersangkutan dapat melakukan sesuatu yang lebih baik lagi di kemudian hari, atau untuk apa?
Jika penghargaan diberikan untuk sesuatu yang sudah dilakukan, maka selesailah percakapan kita di sini, dan sekarang juga. Jika penghargaan diberikan untuk sesuatu yang diharapkan di kemudian hari, maka kita boleh berargumentasi sejenak apakah hal itu efektif atau tidak.
Adakah tujuan lain untuk memberi penghargaan? Khususnya dalam konteks lingkungan hidup, dan kebersihan kota. Adakah kriteria kita untuk memberi penghargaan-penghargaan tersebut sudah cukup cerdas dan cermat?
Pelestarian lingkungan hidup juga mesti dikaitkan dengan pencegahan terhadap kerusakan lingkungan. Kerusakan atau upaya-upaya pelestarian “kasat mata” yang dapat diukur, ditimbang, dan dinilai -rasanya belum cukup- untuk dijadikan kriteria bagi pemberian penghargaan.
Kita mesti menemukan “factor utama” yang menyebabkan terjadinya kerusakan. Dan, faktor utama itu adalah “keserakahan” manusia. Selama manusia masih serakah -termasuk serakah untuk menerima penghargaan yang ada kalanya bisa diataur asal kenal orang yang tepat di atas sana- maka lingkungan akan tetap rusak, malah tambah rusak. Upaya-upaya tambal-sulam yang selama ini dilakukan tidak banyak membantu.
Rusaknya lingkungan adalah akibat dari rusaknya moral kita. Rusaknya lingkungan adalah hasil dari rusaknya nilai-nilai adat yang terlupakan. Leluhur kita menghormati lingkungan. Pohon beringin di tengah alun-alun di-“puja”, dimuliakan -kita menertawakan mereka, dan menyebutnya animis. Kita sama sekali tidak memahami maksud dan tujuan mereka menghormati, memuja, dan memuliakan pepohonan, bukit, gunung, sungai, laut, dan sebagainya.
Pun demikian dengan penghargaan untuk kebersihan kota. Kebersihan fisik kasat mata saja kiranya belum cukup untuk dijadikan standar bagi pemberian penghargaan. Bagaimana dengan “kebersihan” lembaga-lembaga dan institusi-institusi pelayanan masyarakat? Cukup bersihkah? Efisienkah? Puaskah warga kota dengan pelayanan yang diberikan? Adakah pajak yang dipungut dari masyarakat telah digunakan dengan baik?
Bagaimana pula dengan “kebersihan” mental, emosional, intelektual, dan moral para petugas yang semestinya melayani, tapi malah lebih sering menuntut untuk “dilayani”? Sebersih apapun kota-kota kita, bila “pelayan” kota masih kotor dan tidak bersih -maka sesungguhnya kota itu masih jauh dari impian kita akan kota-ideal atau Adipura.
Lalu, Apa yang Mesti Dilakukan? Atasi keserakahan manusia dengan mengembangkan kasih di dalam dirinya. Kembangkan kembali nilai-nilai luhur yang pernah tumbuh di dalam jiwa kita. Lihatlah wajah Gusti Allah di mana-mana, di Barat, di Timur, di Utara, dan di Selatan. Dengan jumlah mata-Nya yang tak terhitung, Ia sedang menyaksikan setiap perbuatan kita. Dengan jumlah telinga-Nya yang tak terhitung, Ia pun mendengar setiap gerakan pikiran kita. Kita bisa membodohi dan menipu sesama, tetapi tidak bisa membodohi dan menipu Dia. Dia Maha Menyaksikan dan Maha Mendengar…
Selama masih ada keserakahan di dalam diri, selama masih ada kekotoran di dalam jiwa maka lingkungan akan tetap rusak. Dan, sebersih apapun kota yang kita huni, kita tinggali, tidak dapat membahagiakan jiwa kita sendiri.
Untuk itu tidak perlu menunggu pemberian Kalpataru, Adipura, atau penghargaan lain. Sesungguhnya sekarang dan saat ini juga kita dapat memberikan penghargaan kepada diri sendiri! Ketika keserakahan tergusur oleh kasih terhadap sesama dan kekotoran pikiran sirna maka kita boleh memberi penghargaan Kalpataru dan Adipura kepada diri sendiri. Dan, penghargaan itu dapat kita berikan setiap waktu, setiap hari, dari hari ke hari.
Kemudian, bila ada yang menghargai itu, dan memberi pula penghargaan lain kita terima, kita bersyukur. Tapi, kita tidak membutuhkannya untuk memotivasi diri. Seorang manusia ideal memotivasi dirinya sendiri. Ia tidak membutuhkan pemicu dari luar untuk menjadi baik, karena ia tahu bila kebaikan adalah baik.
RADAR JOGJA – Thursday, 16 June 2011 10:15
Oleh Anand Krishna*