Mudah sekali bagi kita untuk mengutip seseorang yang “punya nama” kemudian menjabarakan apa yang dikatakannya. Mudah sekali bagi kita untuk mengutip Yesus, atau Muhammad, atau Siddhartha, atau Krishna, kemudian mengomentari kata-kata mereka.

Namun, tidak demikian dengan seorang Yesus. Ketika ditanya oleh para ahli kitab apa yang menjadi “ajaran utama” – bukan ajaran-“nya” – tetapi “ajaran”, titik. Mereka ingin mendengar sesuatu yang bersifat generik, dan berlaku bagi semua.

Maka, tanpa keraguan, Yesus pun menjawab bila mencintai Tuhan dengan segenap hati, pikiran dan jiwa – adalah ajaran terutama. Dan, kedua adalah mencintai tetangga kita sebagaimana kita mencintai diri sendiri.
Pernyataan seperti ini bukanlah pernyataan biasa. pernyataan seperti ini mengandung resiko yang sangat tinggi. Pernyataan ini menuntut “komitmen penuh” tanpa embel-embel, tanpa syarat apa pun jua.

Menempatkan Tuhan diatas segalanya.
Dan, menempatkan tetangga sejajar dengan diri, dan keluarga sendiri.

Mudah terucap, tetapi tidak mudah dalam laku.
Maka, para ahli kitab pun tercengang. Mereka tidak terbiasa memperoleh jawaban setegas dan sejelas itu. Kebiasaan para alim ulama adalah mengutip ayat-ayat suci. Mereka tidak berani berpendapat sendiri. Mereka tidak berani mengambil resiko.

Tidak demikian dengan Yesus. Ia berani mengambil resiko. Ia tidak membutuhkan dukungan kitab suci atau ayat-ayat suci untuk menyampaikan kebenaran. Inilah salib Yesus. Keberaniannya itulah yang menjadi salib yang masih juga dipikulnya hingga hari ini.

“Apa yang tidak kau hendaki bagi dirimu, janganlah kau lakukan terhadap sesama manusia – inilah inti ajaran Torah. Sisanya sekedar penjabaran dari inti ajaran itu,” Talmud juga menyampaikan hal yang sama. Tetapi, siapa yang peduli? Siapa yang ingat? Para alim ulama dan ahli kitab sibuk mengutip ayat-ayat suci, seorang Yesus sibuk melakoni ayat-ayat itu.

Yesus adalah seorang pemberani, sekaligus pemberontak. Masih ingat apa yang dilakukannya di pelataran bait suci? Ia seorang diri. Para murid yang berjumlah sedikit itu untuk malah meminggir. Para penonton bingung, karena apa yang mereka saksikan saat itu adalah sesuatu yang baru.

Yesus, seorang diri, mengobrak-abrik gubuk para pedagang dan para penukar uang yang menempatkan diri sebagai calo Tuhan.

Adakah keberanian seperti itu dalam diri kita?
Bila tidak, maka jadilah kita pemuja bangkai, gambar, patung, kitab dan tempat – yang semuanya kemudian tidak lebih dari berhala.

Bila kita tidak berani memikul salib kita masing-masing bersama Yesus, maka biarlah hati kita, nurani kita, jiwa kita menangisi kelemahan diri pada malam Natal ini. Tidak perlu merayakan Natal dengan menyalakan pelita dan lilin, karena hati yang lemah tidaklah menjadi kuat dengan cara itu.

Apakah arti kelahiran Yesus?
Setiap detik banyak orang yang lahir, dan banyak pula yang mati. Setiap Natal kita merayakan kelahiran Yesus, sebagaimana kita merayakan hari kelahiran saudara kita pasangan kita, anak kita – lantas apa? Apa bedanya? Barangkali Natal lebih meriah, itu saja?

Kelahiran Yesus tidak dapat dipisahkan dari kayu salib yang kelak dipikulnya. Kehiran Yesus hanyalah menjadi bermakna bila saat menyalakan lilin untuk merayakannya, kita juga memungut kayu salib yang ada diatas altar dan memikulnya. Pajangan itu mesti turun dari dinding dan berpindah tempat ke atas pundak kita.

Keberanian Yesus, kegigihannya untuk menghadapi segala tantangan hidup – inilah kemuliaan dan keilahiannya. Kematiannya diatas salib dan kebangkitannya kembali mesti “terulangi” dalam hidup kita masing-masing.

Adakah keberanian di dalam diri kita untuk terlebih dahulu – jauh-jauh hari sebelum merayakan malam kelahiran Yesus – menguburkan jiwa kita yang lemah, hati kita yang alot, dan pikiran kita yang kacau?

Biarlah keangkuhan, dan keserakahan kita mati diatas kayu salib. Biarlah jiwa kita yang tersentuh oleh kesadaran kristus bangkit kembali untuk berkarya di tengah kegaduhan dan ketakwarasan dunia ini dengan tetap mempertahankan kewarasan diri. Barulah setelah itu, malam kelahiran Yesus menjadi bermakna bagi kita.

Yesus tidak mengurusi kerajaan dunia, Ia mengurusi kerajaan Allah. Ya, betul, tetapi milik siapa pula kerajaan, bahkan dunia ini, alam ini? Bukankah semuanya milik Allah? Bukanlah kerajaan Allah berada di dalam diri kita masing-masing?

“Tidak mengurusi kerajaan dunia”, mesti dimaknai sebagai “tidak mengurusi apa pun jua karena keterikatan kita dengan dunia”.

Urusilah keluarga, dan dunia, karena semuanya itu merupakan amanah Allah. Tugas yang diberikan kepada kita oleh Gusti Pangeran.

Jadikanlah malam Natal ini malam yang beda dari malam-malam lain. Isilah malam Natal ini bukan saja dengan lagu, dansa, pesta dan kebaktian, tetapi dengan pencerahan baru, dengan kesadaran baru.

Yesus tidak kemana-mana. Yesus ada di sini. Ia tidak pernah lahir, dan tidak pernah mati. Ia selalu ada. Kadang kita melihat-Nya dengan jelas, kadang tidak. Bukan karena Ia menghilang, tetapi mata batin kita berkabut.

“Bu, bu,” saya pernah bertanya kepada ibu asuh saya asal Solo, “kenapa Yesus terlihat begitu sedih?” Dan, beliau menjawab, “Karena kita sering sedih, sering gelisah, sering sakit.”

Maka, saat itu aku pun berjanji, “Aku tak akan sedih lagi, tak akan gelisah dan sakit lagi, supaya Yesus tertawa!”

Malam Natal ini adalah Malam untuk membuatnya tertawa. Make our Lord happy, walk with Him with your Cross on your shoulder!

Penulis : Anand Krishna (Aktivis Spiritual, penulis lebih dari 130 buku)