“Bali sangatlah Indah,” Indah dengan huruf “I” besar…..Benar, Bali memang sungguh indah. Aku mengatakan hal itu bukan karena banyak orang mengatakan demikian, tetapi karena aku selalu merasakan keindahannya. Aku mencintai Bali. Dan, Aku tidak pernah dapat membedakan antara Kasih dan Keindahan. Keduanya sama.
Tapi, saat aku berjalan melewati monumen peringatan yang biasa disebut “Ground Zero” – tiba-tiba rasa Kasih dan Keindahan dalam hatiku terampas dan hilang pada kebencian dan ketakutan yang mengancam. Apa yang terlintas di pikiranku pada waktu itu adalah wajah-wajah para kriminal yang biasanya disebut sebagai teroris, para kriminal-kriminal yang berusaha untuk menghancurkan Indonesia dengan meledakan bom di Bali. Aku seperti menonton semua kembali adegan-adengan yang pernah saya tonton pada layar televisi beberapa tahun yang lalu.
Dan, perasaan Kasih dan Keindahan seketika itu juga diganti oleh kegetiran. Kesedihan tiba-tiba menyelimuti diriku, menyelimuti seluruh keberadaanku. Kini, Aku bertanya-tanya apakah ini hanya akan menjadi pengalaman diriku seorang…Aku sungguh berharap demikian, Aku berharap pengalaman ini hanya milikku seorang, dan tak ada seorangpun yang merasakan hal yang sama semacam ini. Untuk pertama kalinya dalam hidupku ini, aku berharap dan berdoa bahwa orang lain, tak cukup sensitif untuk merasakannya. Paling tidak, tidak sesensitif saya.
Pertanyaannya ialah-bagaimana jika aku salah?
Apa jadinya jika orang lainpun ternyata sesensitif diriku? Bagaimana jika ternyata mereka lebih sensitif dari diriku? Bagaimana dengan mereka yang mempunyai orang-orang terkasihnya dan sanak-familinya tewas mengenaskan dalam insiden tersebut? Apakah mereka akan kembali ke Bali? Apakah mereka akan berkunjung ke Bali untuk sekedar mengisi liburan?
Ya, mungkin mereka akan kembali.
Mungkin mereka akan kembali ke Bali, tapi bukan sekedar untuk berlibur. Mereka kembali untuk mengenang orang-orang terkasih yang amat mereka cintai. Mereka kembali untuk menyegarkan kembali ingatan akan tragedi Bom Bali.
Monumen peringatan di Ground Zero, Kuta Bali, bukanlah monumen biasa. Ini bisa membawa kita kembali ke masa 2002 ketika Bali dibom untuk pertama kalinya. Dan, kemudian pada tahun 2005 ketika Bali dibom lagi untuk kedua kalinya. Ini semacam lorong waktu. Sebuah terowongan yang bisa membawa kita kembali ke satu masa – saat kematian, saat kehancuran, saat kejahatan dan kematian, saat mencekam yang penuh kesengsaraan yang menyedihkan dan keputusasaan.
Maka, Aku mencoba melintasi terowongan yang lain, yaitu Monumen Perdamaian di New Delhi India di mana abu jenasah Mahatma Gandhi disimpan untuk selamanya. Apa yang kurasakan di sana? Aku merasa jiwa ini terangkat. Aku memang tak pernah bertemu empat mata dengan Jiwa Agung tersebut. Akupun tak selalu setuju sepenuhnya dengan semua ide dan perjuangan Mahatma – tapi ternyata, monumen ini senantiasa memberi inspirasi padaku.
Baik monumen di Bali maupun monumen di Rajghat New Delhi, entah bagaimana bisa menghubungkan kita pada kematian. Para korban-korban pemboman di Bali dibunuh secara sadis oleh sekelompok orang-orang fanatik, Gandhi juga dibunuh oleh seorang fanatik pula. Tapi biarpun masing-masing mempunyai persamaan- Kuta adalah Kuta dan Rajghat adalah Rajghat. Vibrasi di Rajghat mampu mengangkat jiwa kita…karena aroma keyakinan sang Mahatma pada Kebenaran dan Tindakan tanpa kekerasan tercium jelas di sekitar monumen tersebut. Sedangkan vibrasi di Kuta Ground Zero membuat jiwa kita kering. Udara di sekitarnya disesaki oleh nafas berat manusia yang penuh keputus-asa-an dan perasaan tidak aman.
Terakhir kali saat aku melintasi monumen ini, hanya beberapa minggu yang lalu, Aku berpikir situasi seperti ini harus segera diubah. Bali mampu merubahnya. Walaupun kotoran telah dilemparkan ke wajah cantiknya – Bali tetaplah Indah dengan huruf kapital besar “I”. Bali masih memiliki cukup kecantikan untuk membersihkan noda di wajahnya. Bali masih memiliki cukup Kasih yang mampu menenggelamkan segala kebencian dan perasaan sakit hati terhadap para kriminal yang mencoba menghancurkan Bali.
Apa yang bisa kita perbuat?
Apa yang dapat dikerjakan?
Pertama, gambaran atau kesan terhadap Monumen Ground Zero harus dirombak total. Aku mengusulkan pada teman-teman di Bali untuk mengadakan doa bersama setiap minggu. Doa bersama secara rutin yang diadakan di titik itu, Ground Zero. Biarkan setiap orang yang berbeda kepercayaan berdoa dalam bahasa dan cara mereka masing-masing berdasarkan keyakinan, dan agamanya. Dan, pertemuan rutin ini harus ditutup dengan lagu yang mengangkat jiwa kita – lagu tentang Kasih, Perdamaian, Harmoni dan persahabatan dengan seluruh bangsa di dunia – lagu yang merayakan pluralisme dan multikulturalisme, dan yang akhirnya membawa kita pada DIA yang berada di balik sekaligus melampaui segala paham (-ism).
Vibrasi di sekitar Ground Zero harus diubah…..Vibrasi-vibrasi itu harus ditransformasikan dari vibrasi yang mengeringkan jiwa menjadi vibrasi yang menyegarkan jiwa. Monumen ini harus dikenal sebagai Monumen Untuk Perdamaian. Ground Zero harus diganti namanya dengan Tanah Untuk Perdamaian, Tanah Untuk Cinta, dan Harmoni.
Kedua, berhenti menyebut para kriminal itu dengan sebutan teroris. Jangan biarkan mereka menteror mentalmu. Hapus identitas mereka dengan sebutan itu dari pikiranmu. Mereka bukanlah teroris. Mereka tak bisa menteror kita. Sebut mereka kriminial saja Titik. Mereka hanyalah bandit-bandit jalanan. Dan, mereka bukan mewakili golongan agama tertentu. Mereka adalah kriminal yang telah menyimpang dari ajaran luhur agama dengan melakukan tindakan biadab semacam itu. Siapapun yang mendukung dan membela (tindakan) mereka adalah sama-sama kriminal. Mereka juga tidak mewakili sebuah agama apapun. Mereka tidak bisa mengklaim sebagai pembela agama. Mereka tidak dapat membela agama apapun dengan membunuh orang-orang yang tak bersalah atau sebaliknya. Hukuman mati adalah hak prerogatif negara, bukan mereka.
Ketiga, Bali harus melestarikan nilai-nilai budayanya. Itulah pesona Bali. Itulah kekayaan Bali. Jangan biarkan sebuah kunjungan kenegaraan/kepresidenan dari orang-orang timur tengah memaksamu melepas kebaya dan mengenakan pakaian model lain. Seorang tamu memang patut kita hormati, ya…Dan Bali sungguh sangat mengerti bagaimana menghormati seorang tamu. Tapi, itu bukan berarti Bali membuat kompromi tidak perlu yang akan membunuh identitas lokalnya.
Keempat, biaya ekonomi dan hidup yang tinggi di Bali telah memaksa orang bali menjual tanahnya — Ini harus segera dihentikan. Sembari melestarikan kebudayaannya, Bali harus belajar untuk menyederhanakan upacara-upacara dan ritual-ritual yang menghabiskan biaya melebihi pemasukan yang sekarang mereka mampu dapatkan. Banyak di antara pemilik tanah baru di Bali sama sekali tidak menghargai kebudayaan orang-orang Bali. Mereka hanya berada di Bali untuk sekedar memperoleh uang secara cepat. Dan, ironisnya mereka juga membawa kepercayaan yang bertentangan dengan Budaya masyarakat lokal Bali – Kebudayaan yang berakar pada sejarah kepulauan ini – Kebudayaan yang telah ada berabad-abad lampau sebelum Yesus dilahirkan.
Kelima – Kebijakan yang akan diambil oleh pemerintah lokal harus seratus persen pro rakyat. Hanya jika Anda seorang pro-rakyat maka otomatis Anda pro-bangsa ini. Bangsa ini ada karena adanya rakyat, dan Negara adalah bangunan untuk menaungi mereka. Inter-koneksi semacam ini harus dipahami secara benar. Tapi, untuk mengupayakan perjuangan ini kita tak harus berkonfrontasi dengan pemerintah lokal. Jangan melakukan demonstrasi yang tak elegan dan penuh kekerasan. Mereka itu juga adalah saudara – saudari kita sendiri. Mereka harus diajak untuk melihat sesuatu menggunakan cara pandang dan kacamata mereka apa adanya. Kita harus belajar membantu pemerintah negara kita untuk berfungsi sebagaimana seharusnya. Kita juga harus belajar menunaikan bagian dari tanggungjawab (sosial) kita.
Bali harus diselamatkan….lebih tepatnya, Bali harus menyelamatkan dirinya sendiri. Dan, untuk itu yang dibutuhkan segera adalah kesadaran, kesadaran di antara masyarakat Bali sendiri. Bali tak hanya harus sadar bahwa mereka adalah bagian dari kepulauan Indonesia, tapi sekaligus menyadari perannya sebagai tempat pertahanan terakhir dari Kebudayaan Asli Indonesia – di mana kebudayaan luhur ini tetap hidup dan menjadi bagian kehidupan.
Bali tak harus membalas tindak kriminal dengan kejahatan – Itulah Jiwa Bali. Itulah Kebudayaan Bali. Itulah identitas sejati Bangsa Indonesia. Kita semua adalah pencinta perdamaian, maka dari itu kita juga tak akan membiarkan siapapun mengusik kedamaian kita. Para kriminal tak pernah mendapat tempat dalam masyarakat kita, dan kita harus memastikan supaya tak tercipta orang semacam itu lagi. Kita tak membenci mereka karena mereka itu sakit. Mereka butuh perawatan rehabilitasi, maka kita harus membuat rumah sakit khusus untuk mengobati mereka. Kasih kita bukan cinta emosionil yang instant tapi rapuh. Kasih kita adalah Kasih yang bertanggungjawab.
Bali, Bangkitlah…
Bangkit demi meraih masa depan yang gemilang – itulah takdirmu…Takdir yang sementara ini tertunda, tapi tak akan bisa dielakkan. Belajarlah dari kesalahan masa lalumu, jangan ulangi lagi dan lanjutkan perjalanan jiwamu menuju Kasih, Pencerahan, Perdamaian dan Harmoni.
(Terjemahan oleh Nunung & Johanes)