“Pluralisme merupakan fakta mendasar di sini, oleh sebab itu kita harus menerimanya,” kata seorang politisi yang partainya menjadikan dogma dan doktrin agama sebagai prinsip tuntunannya.
“Pluralisme tak sesuai dengan kepercayaan kita,” ujar seorang tokoh agama yang mewakili agama, kepercayaan, dogma dan doktrin yang sama pula.
Sang politisi mungkin terdengar lebih toleran dan moderat ketimbang si tokoh agama, tapi sejatinya keduanya mengatakan hal yang sama. Sang politisi tak mengapresiasi pluralisme, dia cuma menerimanya — dalam bahasanya “menghargai” — karena itu merupakan fakta di sini. Negara ini adalah negara pluralis. Negara ini pluralis, sehingga ia harus menerimanya.
Toleransi tak pernah tanpa upaya. Toleransi tak pernah bisa murni dan tulus. Kita tak dapat mentolerir seseorang atau sesuatu tanpa alasan tertentu, apapun alasannya itu. Seorang politisi harus mentolerir, menerima atau menghargai pluralisme karena ia ingin memperoleh sesuatu darinya. Dia tak melakukannya tanpa pamrih. Dia memiliki agenda politis tertentu untuk dipelihara. Ia melakukannya untuk memastikan jumlah konstituennya bertambah, sehingga lebih banyak suara dan tentu saja kekuasaan yang lebih pula.
Seorang tokoh agama menolak pluralisme secara tegas karena alasan yang sama walau dengan bahasa yang berbeda. Konstituen dan suaranya ialah “jumlah” orang yang mempercayai interpretasinya terhadap dogma dan doktrin agamanya. Kekuasaannya ialah “keyakinan buta” orang-orang di sekitarnya itu. Ia tak bisa merelakan kemungkinan lenyapnya mereka karena menerima pluralisme. Dia harus berpegang pada prinsip, “Walaupun yang lain baik, tetap Akulah yang terbaik”.
Baik penerimaan dan penolakan terhadap pluralisme tetaplah satu dan hal yang sama. Tak ada yang lebih baik di banding yang lain. Dalam kasus ini, pluralisme kehilangan nilainya, kegunaan dan manfaatnya. Pluralisme tak berfaedah. Faktanya, ini justru sangat berbahaya. Karena kata “plural” berlawanan dengan “singular” — sehingga konflik antar keduanya tak bisa dihindari.
Kita perlu secepat mungkin berhenti melihat kenyamanan dan solusi dalam pluralisme. Kita sudah berkelahi satu sama lain karena pluralisme. Mari kita menemukan kenyamanan dan solusi di sesuatu yang lain, dalam sesuatu yang lebih tinggi daripada nilai pluralisme. Mari kita melampaui keduanya, yang singular dan yang plural.
Singular mewakili angka 1 dan plural mewakili angka 2 atau lebih. Sekarang, angka itu matematika. Dan matematika ialah bagian dari otak kiri kita. Ini ialah bagian otak kita yang berurusan dengan logika, dengan kalkulasi untung dan rugi. Baik politisi dan tokoh agama ialah orang otak kiri. Mereka logis. Mereka mengurusi untung dan rugi. Oleh sebab itu, keduanya gagal menyampaikan sebuah nilai yang lebih tinggi bagi bangsa ini.
Baik politisi dan tokoh agama bisa jadi berdiri di sisi jalan dengan sekarung beras ataupun uang untuk dibagikan pada orang-orang tertindas, tapi jangan anda tertipu oleh mereka. Mereka tak sungguh-sungguh berbela rasa. Politisi melakukannya agar menang pemilu, tokoh agama melakukan hal serupa untuk memastikan kapling di surga. Keduanya mempunyai kepentingan pribadi.
Apa yang kita butuhkan saat ini, seperti yang dikatakan oleh Sekjen PBB Ban Ki Moon baru-baru ini, ialah semangat voluntirisme dan altruisme. Kita membutuhkan orang yang dapat bekerja tanpa motif ataupun kepentingan pribadi. Kita membutuhkan orang yang dapat melayani masyarakat tanpa memikirkan pendapatan pribadi.
Kita membutuhkan orang yang tak berpikir dalam kerangka singularisme (Saya baru saja menemukan kata ini) dan pluralisme — tapi dalam kerangka yang kita orang Indonesia biasa sebut kebhinekaan dan keberagaman. Sangat sulit untuk menjelaskan padanan terdekat dua kata tersebut dalam bahasa Inggris. Keduanya mengimplikasikan sebuah ‘kesadaran, kemurnian, ketulusan apresiasi, dan bukan sekadar toleransi, terhadap perbedaan”.
Para bapa bangsa USA memahami dengan baik hal ini. John Leland, seorang evangelis gereja Baptis yang bekerja bersama Jefferson dan Madison untuk menjamin kebebasan beragama di Virginia, mengatakan:”Biarkan setiap orang bebas berbicara tanpa rasa takut, menjalankan prinsip yang ia yakini, beribadah berdasarkan keyakinannya sendiri, walau satu Tuhan, tiga Tuhan, tanpa Tuhan, atau dua puluh Tuhan; dan pastikan pemerintah melindungi ia melakukannya.”
Prinsip pertama dalam ideologi negara Pancasila juga bicara soal ketuhanan atau religiusitas sebagai nilai tertinggi. Ini tak dijelaskan dengan kata-kata lebih lanjut, karena kepercayaan seseorang itu bersifat personal, dan tak bisa dihakimi oleh orang lain. Para bapa bangsa kita sungguh jenius.
Kembali ke USA, seorang agnostik Robert Ingersoll mengatakan pada 1876 negara ialah tempat di mana agama harus membuat jalannya sendiri; tak perlu ada perlakuan khusus:” Setiap gereja memiliki hak yang sama, tak lebih; setiap agama memiliki hak yang sama, tak lebih.”
Pernah kita percaya pada prinsip yang sama — dan kita menjadi sebuah negara besar. Dengan seluruh masalah dalam negri, Sukarno kita ialah nama yang sangat diperhitungkan. Dengan rasa bangga yang luar biasa bahwa kita akan memperkenalkan diri kita sebagai warga negara Indonesianya Sukarno. Sayangnya, rasa bangga tersebut sekarang sirna.
Mari kita memikirkan, dan berpikir keras apa yang membuat Sukarno hebat. Ialah keterbukaannya, kemurnian apresiasinya terhadap perbedaan, keyakinannya yang teguh dalam kebhinekaan dan keberagaman. Secara politik dan ekonomi, dia bisa jadi dicap menyimpang oleh banyak orang. Tapi secara manusiawi ia 100 persen benar. Hari ini, kita masih mengingatnya karena kemanusiaannya. Sejarah akan melupakan kesalahannya di lapangan lain, tapi akan senantiasa mengingat keputusan tepatnya terhadap perbedaan.
Indonesia tak terbagi menjadi Muslim dan non-Muslim; Indonesia tak terbagi menjadi apa yang disebut penganut kepercayaan dan non penganut kepercayaan atau kafir; Indonesia tak terbagi menjadi mualaf dan non mualaf. Indonesia, seperti yang secara tepat Soekarno katakan, “menjadi milik” semuanya dan sama bagi satu dan semua. Semua untuk satu, dan satu untuk semua.
Pandangan luas ini, konsep dan filosofi hidup ini, dewasa ini ditantang oleh orang-orang kita sendiri — oleh mereka yang dididik di seberang sana di mana konsep tersebut dianggap tabu. Orang-orang tersebut berada di mana-mana, termasuk di Kabinet, badan legislatif kita, partai politik kita dan di jalanan. Beberapa dari mereka mengklaim sebagai militan tapi anti kekerasan, lainnnya menyetujui kekerasan. Mereka menyembunyikan adanya konspirasi di antara mereka sendiri, tapi sejatinya mereka memiliki visi yang sama, misi, agenda dan ambisi politik.
Begitu banyak isu seputar pluralisme, seperti kasus Ahmadiyah dan isu pornografi, itu semua “diciptakan” untuk mengalihkan perhatian masyarakat umum dari isu sesungguhnya seperti meningkatnya angka kemiskinan, kelaparan, ketimpangan ekonomi dan penjualan aset-aset kita kepada korporasi asing.
Mari kita bersatu untuk menghadapi isu yang sesungguhnya. Mari kita akhiri konflik antara singural dan plural, mari kita kembali pada kebhinekaan kita sendiri dan dengan spirit itu pula menyelamatkan negara ini dari degradasi yang lebih parah.
Anand Krishna, Jakarta Post, 29 April 2008
Terjemahan oleh Nugroho Angkasa