Kita merasa lega mendengar pernyataan yang disampaikan oleh Presiden kita berkait film Geert Wilder Fitna, yang menurut beliau berpotensi mengacaukan keselarasan dalam masyarakat (The Jakarta Post, 1 April 2008). Bagus sekali, Bapak Presiden — kami  memberikan hormat kepada Anda atas keputusan yang tepat dan tindakan yang cepat tersebut.

Mari kita berharap bahwa dalam waktu dekat ini, Presiden juga menyampaikan pernyataan sikap serupa dan langkah yang cepat pula pada isu-isu yang tak hanya berpotensi mengacaukan keselarasan tapi juga menyebabkan disintegrasi dalam masyarakat kita.

Misalnya dengan  bersikap tegas terhadap khotbah tokoh ulama Abu Bakar Baa’syir pada 22 Oktober tahun lalu, yang terekam oleh kamera Mahasiswa Ilmu Politik Darwin, Nathan Franklin PhD, yang sedang  mengadakan penelitian di Pondok Pesantren di Jawa Timur.

Lantas dipublikasikan oleh media Australia, khotbah tersebut tak hanya menyebarkan kebencian tapi juga merusak reputasi bangsa dan mengancam persatuan dan keutuhan nasional kita.

Semoga Abu Bakar Baa’syir tak benar-benar menyampaikan khotbah semacam itu.

Tapi, kalau memang khotbah itu disampaikan oleh Sang Ulama, maka Presiden kita harus segera menentukan sikap dan langkah cepat terhadapnya, seperti yang beliau lakukan terhadap Geert Wilder dan filmnya.

Ajakan tak masuk akal disampaikan oleh tokoh ulama itu untuk “menghajar” turis Barat dan bagi kaum muda Muslim untuk mati sebagai martir dapat menghambat upaya serius pemerintah kita untuk menampilkan Indonesia sebagai tempat yang aman untuk dikunjungi dan menanam investasi.

Wilder telah melukai perasaan kita, tapi bukan dia saja, atau karena hal itu, setiap orang,  dapat merusak keyakinan kita. Keyakinan kita pada Islam sebagai sebuah agama kedamaian, cinta dan keselarasan sejatinya tak dapat terpengaruh atau diubah oleh sebuah film seperti Fitna.

Kita seyogyanya menyadari bahwa ayat-ayat kitab suci kita perlu dimaknai ulang. Kita harus cukup cerdas untuk membaca apa yang tersirat dan memilahkan mana yang kontekstual dan mana yang universal.

Apparently, both Wilder and Baa’syir confuse the contextual with the universal. The people and the clergies taped by Wilder in his movie live in similar confusion. All of them are in a confused state of mind.

Tampaknya, keduanya, Wilder dan Baas’yir bingung memilah antara mana yang kontekstual dan mana yang universal. Umat dan ulama dalam rekaman filmnya pun hidup dalam kebingungan yang sama. Mereka semua berada dalam keadaan yang membingungkan.

Kita hidup di sebuah negara yang mayoritas penduduknya memeluk agama Islam. Baa’syir mungkin memiliki cara pandang yang berbeda dan pemahaman yang lain tentang Islam, tapi ia, dan juga Wilder, tak bisa memaksa setiap orang untuk menyetujui pandangannya tersebut.

Sebelum pemerintah kita melarang peredaran film tersebut, saya sempat menontonnya di Internet. Tak ada yang baru dalam film itu. Kita umat manusia memang memiliki kecenderungan untuk menginterpretasikan sekaligus menyalahpahami ayat-ayat kitab suci sesuai dengan apa yang menyamankan dan menarik bagi kita.

Wilder melakukan hal serupa.

Tapi bagaimana dengan Baa’syir? bukankah ia telah melakukan hal yang sama  dengan menginterpretasikan ayat-ayat kitab suci untuk membenarkan kepercayaan dan pemahamannya sendiri.

Pemerintah kita sudah melarang peredaran film Fitna dan pembuatnya, Wilder.

Bangsa ini sekarang bertanya kepada beliau,”Pak, bagaimana sikap Anda terhadap Baa’syir dan penyataan yang telah ia buat? Anda harus menjawab pertanyaan ini. Anda berhutang jawaban kepada bangsa dan rakyat Indonesia”.

Ulama itu mengatakan bahwa umat non-Muslim itu binatang melata, seperti cacing, ular, dan belatung.

Baa’syir melontarkan banyak tudingan pada masyarakat sekular Indonesia. Ulama ini mendorong pengikutnya untuk menolak undang-undang yang dibuat parlemen dan menganggap hukum-hukum negara yang bertentangan dengan Syariat Islam sebagai perundangan “sesat”.

Bali sudah dibom dua kali oleh para teroris, pembunuh berdarah dingin, setitik noda hitam pada wajah cantik Islam.  Tatkala  pengeboman pertama terjadi, salah seorang pejabat senior kita mengatakan bahwa bom itu tak akan mempengaruhi Indonesia secara keseluruhan. Dia ternyata salah. Hal ini amat berpengaruh pada Indonesia. Seluruh bangsa dibajak ini oleh segelintir kelompok fanatik.

Setelah bertahun-tahun konsisten melakukan kerja keras, kita akhirnya dapat membersihkan wajah kita yang kotor. Kita bahkan dapat menghindari keburukan dan kekotoran di masa depan. Kita sudah cukup memilikinya.

Sekali lagi mari berharap pernyataan di atas tak disampaikan oleh Baa’syir, saya mengharap keajaiban terjadi jika ia benar-benar melakukannya.

Jika Presiden tak segera mengambil sikap tegas terhadap penyebaran kebencian atas nama agama dan ideologi ekstrim semacam itu, Negara Kesatuan Republik Indonesia bisa memasuki sejarah kelam.

Ini saat yang tepat untuk bertindak, dan bertindaklah dengan bijak untuk kebaikan bangsa dan persatuan nasional.

Anand Krishna, Jakarta, Jumat, 4 April 2008, Opini
Terjemahan oleh Nugroho Angkasa